SEBAB SEBAB WALI HAKIM
25 Oct 2024 | 301 | Penulis : PC APRI Lampung Timur| Publisher : Biro Humas APRI Lampung
Sebab Sebab Wali Hakim
Oleh : Muhammad Syafran Lubis (Penghulu Madya KUA Bandar Sribhawono)
Wali Hakim Sesuai namanya, ialah wali yang berasal dari hakim (qadhi), seperti kepala pemerintah, pemimpin, atau orang yang diberi kewenangan oleh kepala negara untuk menikahkan perempuan yang berwali hakim. Seorang wanita baru boleh menikah dengan wali hakim, apabila; tidak adanya wali nasab atau ada wali nasab tapi tidak memenuhi syarat menjadi wali.
Ketentuan wali hakim sendiri adalah tidak menikahkan; perempuan yang belum baligh, pasangan dari kedua pihak keluarga yang tidak/belum mendapat persetujuan dari kedua calon mempelai,atau tidak mendapat izin dari salh satu calonmempelai, dan orang yang berada di luar wilayah kekuasaannya. Dalam kondisi tersebut, wali hakim dilarang menikahkan.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan wali hakim dapat menjalankan fungsinya sebagai wali nikah. Keadaan yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ke tangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan perundang undangan membenarkannya. Dalam KHI pasal 23 ayat (1) dituliskan:
“Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan”.[1]
Lebih rinci penetapan Wali Hakim diatur dalam Bab II pasal 2, ayat 1 PMA 30 tahun 2005 tentang penetapan wali hakim. Aturan tersebut berbunyi sebagai berikut:
(1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/ di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim, [2]
Sejalan dengan rincian dalam pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 di atas, dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (2) berbunyi :
(2) Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali, jika:
a. wali nasab tidak ada;
b. walinya adhal;
c. walinya tidak diketahui keberadaannya;
d. walinya tidak dapat dihadirkan/ditemui karena dipenjara;
e. wali nasab tidak ada yang beragama Islam;
f. walinya dalam keadaan berihram; dan
g. wali yang menikahi wanita tersebut. [3]
Dari pasal 23 KHI dan pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 serta pasal 13 ayat 3 PMA 20 tahun 2019, dapat dipahami bahwa Beralihnya hak perwalian nasab kepada perwalian hakim ditentukan apabila adanya alasan alasan, sebagai berikut :
1. Wali Nasab Tidak Ada
Dalam keadaan wali nasab tidak ada mempunyai dua makna, pertama, wali nasabnya sudah tidak ada dalam arti semua wali nasabnya dari yang disebutkan dalam KHI pasal 21, atau pasal 13 ayat (1) PMA 22 tahun 2024 berbunyi :
Dalam hal tidak adanya wali nasab sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3), akad nikah dilaksanakan dengan wali hakim
Jika salah satu dari wali nasab yang tersebut dalam pasal 21 KHI dan PMA tahun 2019 pasal 3 ayat (3) diatas masih ada yang hidup maka wali hakim belum berhak sebagai wali nikah.
Kedua wali nasabnya tidak ada. Maksudnya pengantin perempuan tersebut adalah anak hasil di luar nikah atau anak tidak sah, yang secara hukum tidak mempunyai wali. Menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam KHI pasal 100 termaktub:
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[4]
KHI dalam hal ini lebih menegaskan bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka anak tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, sebab barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, wali nikahnya adalah wali hakim.
2. Wali Nasabnya Enggal atau Adhal
Enggan atau Adhal artinya menolak. Dalam hal wali nasabnya menolak sebagai wali nikah dikarenakan tidak setuju kepada calon menantunya, atau alasan lain sehingga wali hakimlah yang menjadi wali nikahnya. Dalam kasus wali adhal ini ditegaskan dalam KHI pasal 23 ayat (2) dengan bunyi :
“ (2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut “. [5]
Dipertegas petunjuk teknisnya oleh PMA 30 tahun 2005 tentang wali hakim dalam pasal 2 ayat (2)
“Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan pengadilan agama / mahkamah syariah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita”. [6]
Dan juga dalam PMA 22 tahun 2024 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (6)
(4) Wali adhal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b) ditetapkan oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.[7]
Untuk menjaga keseragaman dalam penentuan wali hakim dalam hal keengganan wali, maka yang ditempuh pemerintah adalah dengan menyatakan adanya keputusan dari Pengadilan Agama. Dalam fikih munakahat para ulama berbeda pendapat dalam menentukan wali dalam hal ke-adhal-an ini, serta mempunyai syarat syarat masing masing.[8]
Dalam pelaksanaan wali hakim dengan adhalnya wali nasab, pihak KUA masih meminta kembali kepada wali nasabnya untuk menikahkan mempelai tersebut walaupun sudah ada penetapan wali adhal, keadaan ini dimaktubkan dalam Bab IV akad nikah pasal 5 PMA nomor 30 tahun 2005 dengan bunyi :
(1) Sebelum akad nikah dilangsungkan wali hakim meminta kembali kepada wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya wali. (2) Apabila wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan wali hakim. (Pasal 5).[9]
Dalam hal wali enggan untuk menjadi wali nikah, maka kepala KUA Kecamatan selaku wali hakim, terlebih dahulu harus meminta wali nasab untuk menikahkan, sekalipun telah ada putusan Pengadilan Agama tentang adhalnya wali. Artinya hukum islam dalam hal ini KHI masih menjaga keharmonisan atau hubungan baik antara orang tua dan anak (penganten), karena penganten tersebut juga akan menjadi orang tua. kalau wali nasabnya mau menikahkan anaknya tersebut maka batallah putusan wali adhal yang keluarkan oleh pengadilan agama tersebut
3. Wali Nasabnya Mafqud
Mafqud artinya hilang, wali nasab nya hilang, tidak ada kabar beritanya, sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya dan tidak diketahui juga apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Maka wali dari seorang wanita yang hilang wali nasabnya adalah wali hakim
Atau walinya mafqud karena bersembunyi. Bersembunyi berbeda dengan tidak ada kabar beritanya. Sebelum ada kehendak untuk menikah dari wanita tersebut, wali masih diketahui keberadaanya, tetapi saat wanita tersebut menikah, tiba tiba wali tidak bisa dihubungi dan dicari ke tempat tinggalnya selama ini ia tidak ada. Atau selama ini keberadaanya diketahui setelah anaknya mendaftarkan nikah, ia tidak bisa dihubungi lagi dan didatangi ke alamat nya ia tidak ditemukan. Maka dalam keadaan seperti ini tindakan yang dilakukan oleh pihak KUA adalah meminta calon pengantin wanita membuat surat pernyataan tentang hilangnya wali yang bermaterai dengan dua orang saksi dan diketahui kepala desa atau lurah. Dalam hal ini pasal PMA 20 tahun 2019 pasal 13 ayat (5) berbunyi
(5) Wali tidak diketahui keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c didasarkan atas surat pernyataan bermaterai dari calon pengantin, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat [10]
4. Walinya Tidak Dapat Dihadirkan
Wali tidak dapat dihadirkan dikarenakan walinya tersebut dalam penjara, tahanan sehingga tidak diizinkan untuk keluar dan menjadi wali nikah, oleh karena itu yang menjadi wali nikah adalah wali hakim. Dalam PMA 20 tahun 2019 pasal 13 ayat (6) tertulis:
Wali tidak dapat dihadirkan/ditemui sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d karena yang bersangkutan sedang berada dalam tahanan dengan surat pernyataan pertanggungjawaban mutlak dari salah seorang anggota keluarga.[11]
Atau walinya sakit gila umpanya yang tidak mungkin menghadirkannya, apabila wali dihadirkan saat prosesi akad nikah maka akan menambah keruh suasana prosesi akad nikah tersebut.
5. Walinya Tidak Ada Yang Beragama Islam
Dalam hal walinya harus beragama islam adalah suatu kemestian dalam pernikahan yang dilaksanakan dengan aturan agama islam. Beragama islam merupakan salah satu syarat sahnya seseoarang menjadi wali nikah. Walaupun semua walinya masih hidup tetapi tidak ada yang beragama islam maka wali hakimlah yang menjadi walinya. Dalam KHI pasal 20 ayat (1)
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.[12]
Dan PMA 20 tahun 2019 pasal 12 tertera
2) Syarat wali nasab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. laki-laki;
b. beragama Islam;
c. baligh;
d. berakal; dan
e. adil.[13]
Dari dua bunyi pasal diatas dapat diketahui bahwa syarat seorang menjadi wali nikah harus beragama islam. Jadi kalau walinya tidak beragama islam bertentangan dengan definisi wali nasab PMA nomor 30 tahun 2005 tentang wali hakim pasal 1 ayat (1) yang berbunyi
“Wali nasab adalah pria yang beragama islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum islam “ [14]
6. Walinya Sedang Ihram
Seorang wali nasab yang sedang melaksanakan ihram tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. Apabila seorang perempuan ingin menikah sementara wali nasab yang berhak menikahkannya sedang ihram maka dalam pelaksanaan akad nikahnya yang menjadi wali nikah adalah wali hakim. Pasal 54 KHI termaktub
(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.[15]
Dan dalam hadits Rasulullah SAW. disebutkan:
سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ
Saya pernah mendengar Utsman bin Affan berkata; Rasulullah SAW. bersabda: “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.” [16]
Dalam hadits diatas bukan hanya menjadi wali nikah yang dilarang, bahkan menikah dan meminang juga dilarang.
7. Walinya Yang Akan Menikahi Wanita Tersebut
Wali nasabnya yang menjadi pengantin laki lakinya, artinya adalah wali nasab yang berhak menjadi wali akan menikahi wanita tersebut. Keadaan wali nasab ini tentunya wali nikah yang bukan dari golongan mahram, karena dalam wali nikah ada golongan mahram dan ada juga bukan muhrim. Wali dari golongan mahram adalah wali yang tidak boleh menikahi wanita tersebut. Wali muhrim adalah ayah, kakek, saudara seayah seibu, saudara seayah, paman.
Adapun wali bukan muhrim maka sah menikahi wanita tersebut. Misalnya seorang wanita yang akan dinikahi oleh sepupunya (anak pamannya) sementara wali nasab akrab sebelum laki laki tersebut sudah tidak ada atau meninggal semua. Maka wali nikah dari perempuan tersebut adalah wali hakim karena yang berhak menjadi walinya adalah penganten laki lakinya.
[1] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi , pasal 23 ayat 1, h.17
[2] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005 tentang Wali Hakim, ayat pasal 2 ayat 1
[3] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 22 tahun 2024, tentang Pencatatan Pernikahan pasal 13 ayat (5)
[4] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi , pasal 100, h.49.
[5] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi , pasal 23 ayat 1, h.24.
[6] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, Tentang Wali Hakim, pasal 2 ayat 2
[7] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 22 tahun 2024, tentang Pencatatan Pernikahan pasal 13 ayat (6)
[8] . Hanafiyah berpendapat tidak ada wali adhal sebab wali nikah bukan syarat nikah, Malikiyah berpendapat jika wali aqrab adhal maka berpindah kepada wali abadh. Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat jika wali nasab adhal maka hakimlah yang menjadi walinya. Lengkapnya lihat dalam Abd. Al Rahman Al Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, (Kairo: Dar al-Bayan al-'Arabi) , tt., Juz IV, h. 26.
[9] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim, Pasal 5, Ayat (1) dan (2).
[10] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 22 tahun 2024, tentang Pencatatan Pernikahan ,pasal 13 ayat (7)
[11] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan, pasal 13 ayat (8)
[12] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi, pasal 20 ayat 1, h.23.
[13] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 22 tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan, pasal 12 ayat (2)
[14] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, Tentang Wali Hakim, pasal 1 ayat 1
[15] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi, pasal 54 ayat 1, h.32.
[16] . Muslim Bin Alhujjaj Al Qusoiri, Shohih Muslim (Dar Ihya Kutubul Arobiyah), juz. II, h, 1409 no. 1030