Kafaah dalam pernikahan, Pentingkah?
Opini

Kafaah dalam pernikahan, Pentingkah?

  12 Sep 2024 |   99 |   Penulis : PC Kab.Tangerang|   Publisher : Biro Humas APRI Banten

Oleh Khoirul Umam, S.Ag

Penulis adalah Penghulu Ahli Muda pada KUA Kec. Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan.


“Jadi gimana ini, Mas?” suara Mira pelan, “Ayahku tetap pada keputusannya, hubungan kita harus diakhiri, udah nggak bisa dilanjutkan lagi.” Burhan diam, hanya karena perbedaan status sosial, Mira dari keturunan ningrat dan dia dari keturunan orang awam, keluarga ayah Mira mati-matian menolak lamarannya. SangAyah ingin Mira menikah dengan pria keturunan “darah biru” juga. Padahal mereka sudah sangat saling mencintai dan Burhan pun sudah cukup mapan. Jabatan di pekerjaannya sudah berada di level setara manager, bahkan mereka berdua sudah sepakat Ketika sudah menikah akan mencicil sebuah rumah mungil. Semuanya sekarang kandas di Tengah jalan hanya karena perkara “kesepadanan”

Kisah di atas memang fiktif, tetapi kerap kali ditemukan di tengah kehidupan masyarakat. Perbedaan yang kerap menjadi masalah tersebut merentang mulai dari status sosial seperti garis keturunan, kemampuan finansial, sampai pada perbedaan suku dan ras. Semuanya dirangkum dalam satu kalimat: tidak sepadan. Dalam khazanah fikih klasik, kesepadanan dalam pernikahan dikenal dengan istilah Kafa’ah. Dari contoh kisah di atas, maka muncul pertanyaan apa arti kafaah dan seberapa pentingkah kesepadanan atau kafaah ini dalam pernikahan? Termasuk rukun dan syarat pernikahan yang harus dipenuhi? Apakah kebahagian dalam rumah tangga bisa terwujud dengan terpenuhinya kriteria kafaah ini?
A. KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN
1. Definisi Kafa’ah
         Pernikahan merupakan salah satu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Dalam memilih pasangan hidup harus lah dengan cara yang baik dan benar, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk melakukan ikatan pernikahan. Ikatan pernikahan dapat diajukan oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam melangsungkan pernikahan tidaklah serta merta seseorang memilih calon pasangan, ia harus memilih dengan pilihan yang tepat dan diridhai oleh Allah Swt. Dalam Agama Islam, hal ini telah diatur secara nyata dan jelas, dan disebut dengan Kafâ`ah.
Dalam kamus bahasa Arab, kafâ`ah berasal dari kata -ًمُكَافَأَةَ كَافَأ- ُيُكَافِئ yang berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh (Munawwir, 1997: 1216). Sedangkan dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, kafâ`ah berarti seimbang (Tri Rama K, 2000: 218) yaitu keseimbangan dalam memilih pasangan hidup. Kafâ`ah atau kufu` menurut bahasa artinya setara, seimbangatau keserasian, kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding.
  Secara definitif, kafa`ah bisa diartikan sebagai kesetaraan derajat suami dihadapan istrinya. Hal tersebut sebagaimana disampaikan Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 43:
الكفاءة: ويقصد بالكفاءة: مساواة حال الرجل لحال المرأة
“Al-kafa`ah. Yang dimaksud dengan al-kafa`ah ialah kesetaraan kondisi suami terhadap kondisi istri.”
Para pakar hukum Islam atau para ulama mendefinisikan kafa’ah sebagai kesepadanan antara suami dan istri sebagai sarana menjamin kehormatan (istri dan keluarganya) dalam berbagai hal (Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Juz 8 hal.6735).
2. Kafa’ah dalam Pernikahan
Para ulama berbeda pendapat tentang dipersyaratkannya kesepadanan atau kafa’ah dalam pernikahan ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama yang diwakili oleh al-Tsauri, Hasan al-Bashri, dan al-Karhi dari madzhab Hanafi menyatakan kesepadanan atau kafa’ah bukan merupakan syarat dalam sebuah pernikahan. Dasar hujjah kelompok pertama ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Laali (Subulus Salam Juz 3: 129) yang mengindikasikan kesetaraan antara manusia: “Manusia itu setara seperti gigi yang sejajar, tidak ada keutamaan orang Arab disbanding dengan orang non-Arab, karena keutamaan itu (diukur dengan) ketaqwaan”, dasar lainnya QS. Al-Hujurat: 13 dan QS. Al-Furqon:54. Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh kelompok mayoritas ulama madzhab menyatakan bahwa kesepadanan atau kafa’ah merupakan syarth al-luzum, bukan syarth al-sihhah bagi sebuah pernikahan. Artinya, apabila ada seorang wanita yang dinikahi oleh seorang pria yang tidak sepadan, maka pernikahan tersebut sah. Akan tetapi, wali pihak wanita memiliki hak membatalkan pernikahan tersebut apabila tidak menyetujui kondisi ketidak sepadanan tersebut. Dasar hujjah kelompok kedua ini antara lain QS. An-Nahl: 71, dan QS.al-Mujadilah: 11, serta hadits Nabi SAW dari Siti Aisyah RA: “Pilihlah Jodohmu, dan nikahilah yang sepadan denganmu”.
Dalam syariat Islam, kafa`ah diberlakukan sebagai sesuatu yang “dipertimbangkan” dalam nikah, namun tidak berkaitan dengan keabsahannya. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 47:
فَصْلٌ: فِي الْكَفَاءَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي النِّكَاحِ لَا لِصِحَّتِهِ بَلْ لِأَنَّهَا حَقٌّ لِلْمَرْأَةِ وَالْوَلِيِّ فَلَهُمَا إسْقَاطُهَا
     “Pasal tentang kafa`ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah, bukan pada soal keabsahannya,
       namun hal tersebut merupakan hak calon istri dan wali, maka mereka berdua berhak
       menggugurkannya.”
Dari pernyataan di atas bisa kita pahami bahwa kafa`ah merupakan hak bagi calon istri dan wali. Artinya mereka berdua berhak membatalkan rencana pernikahan jika terbukti bahwa calon suami tidak setara dengan calon istri. Meski demikian, jika atas pertimbangan tertentu ternyata calon istri atau wali menerima dengan kondisi calon suami yang ternyata lebih rendah derajatnya, maka pernikahan tetap sah diberlangsungkan.
Kondisi-kondisi apa saja yang dipertimbangkan dalam persoalan kafa`ah, bisa kita simak dalam penjelasan Imam Nawawi al-Bantani pada kitab Nihayatuz Zain (Beirut: Dar al-Fikr, 1316 H), hal. 311:
 أَحدهَا حريَّة فِي الزَّوْج وَفِي الْآبَاء وَثَانِيها عفة عَن الْفسق فِيهِ وَفِي آبَائِهِ وَثَالِثهَا نسب وَالْعبْرَة فِيهِ بِالْآبَاءِ كالإسلام وَرَابِعهَا حِرْفَة فِيهِ أَو فِي أحد من آبَائِهِ وَهِي مَا يتحرف بِهِ لطلب الرزق من الصَّنَائِع وَغَيرهَا وخامسها سَلامَة للزَّوْج من الْعُيُوب المثبتة للخيار
“Pertama, sifat merdeka (bukan budak) dalam diri calon suami dan ayahnya; kedua, terjaga agamanya; ketiga nasab; keempat pekerjaan; kelima, terbebasnya suami dari aib nikah.”.
Konsekuensi dari pemaparan di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, membuat seorang lelaki budak tidak kafa`ah bagi perempuan merdeka, wanita keturunan bani Hasyim dan bani Muthalib bukan kafa`ah bagi selainnya, lelaki fasiq tidak kafa`ah bagi wanita salehah, lelaki keturunan pedagang tidak kafa`ah bagi putri seorang ulama ahli fiqih, dan seterusnya.
Madzhab Maliki menyatakan bahwa kafa’ah hanya bisa diterapkan pada masalah agama dan bebas dari cacat fisik yang memungkinkan khiyar. Sedangkan madzhab Syafi’i memandang kafa’ah diterapkan pada masalah agama, kemerdekaan, nasab, cacat fisisk, dan profesi. Sedangkan madzhab Hanafi mensyaratkan kafa’ah pada agama, Islam, Kemerdekaan, nasab, harta, dan profesi (Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Juz 8 hal.6747).
Tujuan pemberlakukan soalan kafa`ah ini bukanlah bertujuan membeda-bedakan muslim yang satu dengan lainnya, namun demi menjaga calon istri dan keluarganya dari “rasa malu”. Memang, di hadapan Allah, manusia paling mulia adalah yang bertakwa, namun karena pernikahan ini selain dilihat dari sisi ibadah, juga harus dilihat dari sisi sosial kemanusiaan. Sebagai contoh, akan sangat menyulitkan bagi suami yang berprofesi pedagang asongan untuk memenuhi nafkah yang dibutuhkan oleh seorang istri yang merupakan keturunan milyarder. Meskipun jika istri yang keturunan milyarder tersebut rela dan ikhlas, maka pernikahan tetap bisa sah.Demikianlah yang dimaksudkan bahwa kafa`ah menjadi pertimbangan dalam pernikahan, namun bukan bagian dari syarat yang membuat pernikahan sah.
             Hikmah kafâ`ah dalam pernikahan di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Kafâ`ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
b. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai
    makmumnya.
c. Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
B. KESIMPULAN DAN SARAN
     1. Kesimpulan
Kafâ’ah merupakan keseimbangan antara calon suami dan calon istri dalam kehidupan berumah tangga, dan merupakan hak bagi wanita yakni jika seseorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka wali berhak membatalkan pernikahan tersebut. Pernikahan itu bukanlah suatu peristiwa yang sifatnya dibatasi oleh jangka waktu tertentu, dan diharapkan bahwa pernikahan itu membawa ke arah yang harmonis antara pasangan suami maupun istri tanpa harus adanya pergeseran
kepada perceraian di tengah jalannya, disebabkan karena tidak mendapatkan kebahagian atau keharmonisan dalam rumah tangga.
     2. Saran
Melihat pentingnya kesetaran dalam berlangsungnya pernikahan, alangkah baiknya jika praktek kafâah ini diterapkan oleh setiap orang Islam.
C. REFERENSI
Al Aziz , Moh. Saifulloh, 2005, Fiqih Islam lengkap, Terbit Terang, Surabaya.
Al-Fauzan, Saleh, 2005, Fiqh Sehari-hari, Gema Insani, Jakarta.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, 1986, Fiqih Wanita, CV. Asy- Syifa’, Semarang.
Ayyub, Hassan, 2008, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Imam Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain (Beirut: Dar al-Fikr, 1316 H), hal. 311
Imam Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr) II, hal. 47
Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Pustaka
Progresif, Surabaya.
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 43
Sabiq, Sayyid, 2006, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta.
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqh Islam Wa Adillatuhu
Tihami, M. A. Sohari Sahrani, 2009, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Tri Rama, 2000, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya.
‘Uaidah, Muhammad, 2008, Fiqih Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Zuhayli, Wahbah, 2007, Fiqh Islam 9, Gema Insani, Jakarta.

Share | | | |