Cinta dan Langkah Berani Menuju Pernikahan
Inspirasi

Cinta dan Langkah Berani Menuju Pernikahan

  24 Dec 2024 |   84 |   Penulis : PC APRI Lampung Timur|   Publisher : Biro Humas APRI Lampung

Wasthan : 23 Desember 2024

Ketika cinta berhadapan dengan agama dan aturan, ada wajah nyata yang menatap penuh harapan kepada penghulu, hukum, dan masyarakat. 

“Adakah jalan keluar yang cukup adil bagi semua?”

 

"Pak, apakah cinta kami salah? Haruskah kami menyerah hanya karena kami lahir di keyakinan yang berbeda?" Suara lirih perempuan muda di ruangan konsultasi KUA. Disertai isakan, air seperti mengalir dari hatinya yang retak. Di sebelahnya, seorang pria yang biasa ia sebut “cinta” dengan tatapan penuh kegelisahan menggenggam erat tangannya, seolah berusaha meyakinkan bahwa mereka bisa melalui rintangan ini bersama.

Sebuah upaya sunyi untuk meneguhkan, meski ia sendiri tampak rapuh di tengah dilema yang begitu berat. Ruangan kecil itu seketika dipenuhi aura murung. Cinta yang seharusnya mempersatukan pasangan pada pernikahan indah dan menjadi momen bahagia, kini berubah menjadi dilema tidak berujung.

Cinta yang mereka yakini tulus harus menghadapi dinding hukum, agama dan tradisi yang seakan tidak memberikan ruang untuk kompromi. Di balik meja kerjanya yang sederhana, Wasthan sebagai penghulu tidak hanya menjadi saksi pergulatan mereka, tetapi juga harus menjadi penengah yang bijak dalam menyelaraskan harapan di tengah persoalan hati dan aturan yang tegas.

"Pak, apakah Tuhan akan marah jika kami tetap bersama? Haruskah cinta kami berakhir hanya karena cara kami menyebut nama-Nya berbeda?" Suara perempuan muda itu kembali terdengar lirih. Matanya merah, menatap penghulu di depannya dengan harapan yang nyaris pupus, mencari cahaya di tengah gelap. Hatinya berontak, ada perasaan tidak rela saat cintanya terhenti oleh aturan yang terasa tidak bisa dilewati, begitu membatasi.

Sebagai penghulu, berada di tengah kisah seperti ini bukanlah hal asing, tetapi setiap cerita memiliki luka dan perjuangannya sendiri. Di satu sisi ada hukum yang jelas, di sisi lain ada hati yang meminta untuk didengar.

Dalam hukum Islam dan peraturan negara, pernikahan beda agama adalah hal yang tidak bisa diterima. Tapi bagi mereka, cinta bukan sekadar aturan tertulis. Cinta adalah kehidupan yang ingin mereka jalani bersama. “Kami sudah mencoba segalanya, Pak. Tapi selalu buntu.” lanjutnya dengan nada nyaris putus asa. Di sinilah penghulu berdiri di persimpangan yang sulit, menjadi penjaga hukum, sekaligus mendengarkan hati yang memohon untuk tetap bersama.

Di Indonesia, pernikahan beda agama tidak sekadar isu keluarga atau komunitas. Ini adalah persoalan hukum yang diatur secara ketat. Sebagai negara yang menjunjung tinggi asas Pancasila, Indonesia menetapkan hukum yang memadukan nilai agama dan konstitusi dalam pernikahan.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan dengan tegas bahwa: "perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya." Aturan ini, meskipun dimaksudkan untuk menjaga harmoni, kerap menjadi dinding besar bagi pasangan beda agama yang hendak melangsungkan pernikahan.

Bagi mereka, cinta yang seharusnya menyatukan kini diuji oleh peraturan yang tidak memberi ruang kompromi. Dalam perspektif Islam, ketentuan fikih juga melarang pernikahan beda agama dengan dasar keimanan. Dilema ini memunculkan polemik yang terus menggema: antara menghormati hukum dan mendengarkan suara hati. Meski demikian, aturan tersebut kerap kali menjadi bahan diskusi panjang, baik di ruang publik maupun di meja konsultasi Kantor Urusan Agama.

“Ketika cinta berhadapan dengan agama dan aturan, ada wajah-wajah nyata yang menatap penuh harapan kepada penghulu, hukum, dan masyarakat. 

Adakah jalan keluar yang cukup adil bagi semua?”

Di Kabupaten Lampung Timur, adakalanya cinta juga diuji  dan dipertaruhkan antara batasan agama dan aturan negara. Menghadapi larangan yang datang dari ranah agama, juga dari hukum negara, tidak sedikit pasangan calon pengantin yang akhirnya mengambil langkah berat, “berpindah agama demi bisa mengucap janji suci di depan penghulu”.

Data di KUA Kecamatan Mataram Baru menunjukkan bahwa sejumlah pasangan calon pengantin memilih berpindah agama demi melegalkan pernikahan mereka. Bukan karena keyakinan hati, melainkan karena sistem aturan yang tidak memberi ruang bagi pernikahan beda agama. “Kami hanya ingin menikah dan bertahan untuk tetap hidup bersama,” ujar salah satu calon mempelai yang akhirnya memeluk Islam agar pernikahannya bisa dilangsungkan. Ini menggambarkan perjuangan yang tidak semua orang bisa pahami.

Fenomena ini menciptakan dinamika sosial yang unik di masyarakat, menjadi cerminan bagaimana cinta, meskipun kuat, sering kali harus tunduk pada Agama dan hukum. Bagi pasangan yang memilih berpindah agama, keputusan tersebut adalah kompromi terakhir, meski di baliknya ada tekanan sosial, batin, dan keluarga.

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Mataram Baru Drs. H. Azkur menjadi saksi dari kisah cinta yang terjalin di tengah aturan tegas ini. Beliu menyebut bahwa fenomena perpindahan agama ini sebagai salah satu dilema tersendiri, yaitu antara menjalankan aturan hukum dengan ketat, dan menyaksikan perjuangan cinta yang berujung pada keputusan berat. “Bagi sebagian orang, berpindah agama mungkin terlihat sederhana, tetapi bagi pasangan-pasangan ini, itu adalah pilihan yang mengubah jalan hidup mereka selamanya. KUA Mataram Baru menjadi cermin dilema cinta dan keyakinan ini. Realitas yang ada harus tetap dilihat sisi humanisnya.” Ungkapnya.

Pernikahan bagi calon pengantin beda agama memang sering kali menjadi perjalanan yang penuh liku. Di Kecamatan Mataram Baru, khususnya di Desa Mandalasari, terdapat fenomena menarik terkait hal ini. Hj. Mashudah, S.Pd, S.H., Penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan Mataram Baru menyampaikan bahwa di kawasan ini ada  yang dikenal sebagai Kampung Mualaf, tercatat sekitar 50 kepala keluarga (KK) yang memilih beragama Islam. Dari jumlah tersebut ada 40 orang yang didapati motifasi awal mereka memeluk Islam adalah sebagai langkah untuk memenuhi syarat pernikahan, meski keputusan berpindah agama ini selanjutnya mereka ambil bukan hanya soal tentang status keagamaan, tapi menyangkut perjalanan hidup penuh harapan dengan orang yang mereka cinta.

"Meski awalnya mereka memeluk agama Islam dengan alasan utama untuk mengikuti agama pasangan hidup mereka, Alhamdulillah mereka tetap teguh dalam agama Islam hingga sekarang," ujar Hj. Mashudah sambil tersenyum, sembari menceritakan seputar pembinaan para mualaf di daerah tersebut.

Sebagai bagian dari upaya keberlanjutan pembinaan, lanjutnya. Kantor Urusan Agama Kecamatan Mataram Baru bersama seluruh Penyuluh Agama Islam Kabupaten Lampung Timur yang tergabung dalam IPARI Lampung Timur  telah menetapkan jadwal rutin untuk mendampingi para mualaf di kampung mualaf tersebut. Setiap bulan, para penyuluh agama Islam, baik fungsional maupun PPPK, mengadakan pembinaan kepada mereka. Tidak hanya itu, kegiatan mingguan juga dilaksanakan oleh penyuluh agama Islam non-PNS yang secara konsisten memberikan pengajaran dan bimbingan kepada para mualaf yang baru bergabung. "Kami berkomitmen untuk memastikan mereka tidak hanya memenuhi syarat pernikahan, tetapi juga mampu menjalani kehidupan beragama dengan baik," kata Hj. Mashudah.

Fenomena serupa juga ditemui  di Kecamatan Padang Ratu, Lampung Tengah.  Ustadz Ahmad Heryanto, S.Th.I.,  sebagai seorang penyuluh agama Islam sekaligus Ketua Mualaf Center Baznas Lampung Tengah, membagikan pengalamannya tentang mendampingi pasangan-pasangan yang memilih Islam sebagai jalan hidup demi pernikahan. Dalam wawancara yang dilakukan, Sabtu 21 Desember 2024, Ustadz Ahmad Heryanto menyebutkan bahwa fenomena mualaf, baik dari Indonesia maupun luar negeri, cukup sering ditemui.

"Alhamdulillah, sering kami temukan calon pengantin yang Log-in sebelum melangsungkan akad nikah. Salah satu kisah yang menarik adalah tiga bulan yang lalu ada seorang perempuan asal Prancis yang memutuskan menjadi mualaf untuk menikah dengan salah satu warga kami di Kecamatan Padang Ratu," ungkapnya.

“Mereka datang bukan hanya untuk menikah, tetapi juga dengan keinginan untuk mengenal dan memahami Islam lebih dalam,” ujar Ustadz Ahmad Heryanto. Meski demikian, perjalanan ini tidak selalu berjalan mulus. “Ada yang menjadikan Islam hanya sebagai syarat pernikahan, sehingga setelah akad terlaksana, pembinaan menjadi tantangan besar,” tambahnya. Untuk menjawab tantangan ini, pembinaan rutin di KUA setempat terus diupayakan. Nasihat keagamaan mingguan dirancang agar para mualaf tidak hanya memeluk Islam sebagai identitas, tetapi juga mampu menghayati ajarannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai bagian dari komitmennya, Ustadz Ahmad Heryanto bersama tim penyuluh agama lainnya merancang pembinaan dalam dua tahap: sebelum dan sesudah pernikahan. Sebelum akad, para calon mualaf diberi pemahaman dasar tentang Islam, mulai dari rukun iman hingga kewajiban sebagai seorang Muslim, termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dijalani setelah memeluk agama ini. Setelah pernikahan, pembinaan berlanjut dalam bentuk sesi mingguan yang diselenggarakan di KUA Kecamatan Padang Ratu. "Kami berusaha memberikan wawasan yang mendalam tentang akidah dan amaliah Islam, agar mereka tidak hanya menjadi Muslim secara identitas, tetapi juga dalam praktik hidup mereka," jelas Ustaz Ahmad Heryanto dengan penuh keyakinan.

Di lapangan, para mualaf yang baru menikah kerap menghadapi tantangan besar dalam menjalani kehidupan beragama. Salah satu kendala utama adalah ketidaktetapan domisili, di mana banyak dari mereka pindah ke wilayah lain setelah menikah sehingga pembinaan keagamaan menjadi sulit dilakukan. Selain itu, ada pula yang memeluk Islam semata-mata demi memenuhi syarat pernikahan, tanpa memiliki komitmen mendalam terhadap ajaran agama. Ustadz Ahmad Heryanto mengungkapkan bahwa meski telah dilakukan berbagai upaya, banyak mualaf yang enggan menghadiri sesi pembinaan. “Kami sudah mengingatkan mereka untuk datang mengikuti pembinaan, tetapi banyak yang tidak hadir,” ujarnya.

Lebih jauh, Ustadz Ahmad Heryanto menjelaskan bahwa kehidupan beragama para mualaf pasca pernikahan masih jauh dari harapan. Meskipun secara formal mereka telah memeluk Islam, praktik ibadah seperti salat lima waktu sering kali diabaikan, apalagi ibadah-ibadah lain yang lebih mendalam. Ia menuturkan bahwa komunikasi verbal telah dilakukan untuk mendorong mereka lebih taat, tetapi hasilnya kerap mengecewakan.

Dalam konteks keluarga sakinah seperti yang diprogramkan oleh Kementrian Agama RI, menurutnya, para mualaf ini juga masih membutuhkan bimbingan yang intensif, terutama dalam memperkuat hubungan spiritual mereka dengan Allah. Namun demikian, ia mengakui bahwa dalam hubungan dengan pasangan, mereka menunjukkan perkembangan yang lebih positif, meskipun tantangan besar tetap ada.

Tidak hanya dalam lingkup keluarga baru, para mualaf juga sering kali dihadapkan pada dilema yang kompleks dalam hubungan dengan keluarga asal mereka yang masih memeluk agama sebelumnya. Banyak dari mereka merasa terasing, bahkan tidak lagi diakui sebagai bagian dari keluarga. “Dengan keluarga baru yang seiman, mereka bisa hidup lebih baik. Tetapi hubungan dengan keluarga lama sering kali dipenuhi jarak,” ujar Hj. Mashudah. Perubahan keyakinan yang mereka jalani memang sering kali memunculkan konflik sosial yang berat, diperparah oleh tekanan dari lingkungan sekitar yang kurang mendukung. Situasi tersebut membuat banyak mualaf harus bertahan di tengah rasa kehilangan dan penolakan.

Namun, di balik tantangan yang berat, harapan terus tumbuh. Para mualaf yang telah menikah dan memiliki anak mulai merasakan penerimaan yang lebih besar dari komunitas Muslim. Bagi mereka, perubahan agama bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban agama, tetapi juga langkah besar menuju kehidupan yang lebih bermakna dengan komitmen terhadap keluarga, iman, dan masa depan.

Hj. Mashudah menjelaskan bahwa mayoritas mualaf ini berasal dari latar belakang agama Kristen, Hindu, dan Buddha, dan perjalanan mereka menjadi bagian dari komunitas Muslim sering kali dimulai karena mengikuti agama pasangan. Meski tak jarang menghadapi penolakan dari keluarga asal, kebersamaan dengan keluarga baru memberikan kekuatan dan penghiburan. Perjalanan ini, meskipun penuh tantangan, menjadi bukti nyata bahwa tekad untuk memperbaiki diri dan hidup dalam keyakinan yang dipilih mampu membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik dan penuh makna.

Di Kecamatan Mataram Baru, Kabupaten Lampung Timur, cinta dan keyakinan sering kali bersinggungan di jalan yang tidak mudah. Data menunjukkan sejumlah pasangan calon pengantin memilih langkah yang tidak ringan, berpindah agama demi melangsungkan akad nikah sesuai aturan yang berlaku.

Terhitung tahun 2019 sampai dengan Desember 2024, dari data Sertifikat Ikrar Masuk Islam yang tercatat di KUA Mataram Baru terdapat 9 orang yang mengikrarkan diri memeluk agama Islam, dengan agama asal antara lain Hindu, Budha, Katolik dan Kristen. Tentu saja itu belum termasuk yang melakukan proses ikrar masuk Islam di KUA Kecamatan yang lain, mengikuti calon pasangan yang akan dinikahinya.

Bagi sebagian pasangan, keputusan ini bukan sekadar formalitas administratif, tetapi juga pengorbanan emosional yang mengubah identitas agama mereka yang telah lama melekat. Fenomena ini menjadi sorotan di KUA Mataram Baru, di mana penghulu tidak hanya melaksanakan tugas sebagai pelaksana hukum, tetapi juga mendengar kisah-kisah yang begitu personal dan menyentuh. KUA Mataram Baru menjadi saksi betapa cinta sering kali harus tunduk pada aturan, meski bagi mereka yang menjalani, setiap langkah adalah bukti perjuangan mempertahankan kebahagiaan bersama orang yang dicinta.

Sebagai penghulu, tugas yang diemban tidak hanya sebatas mencatatkan akad nikah, tetapi juga menghadapi berbagai dinamika yang melibatkan perasaan dan keyakinan pasangan calon pengantin. Netral di tengah dilema pasangan yang tengah berdiri di persimpangan antara hukum, keluarga, agama dan cinta. Netral terhadap pilihan berpindah agama untuk calon yang akan melangsungkan pernikahan, penghulu harus menjalankan tugas dengan penuh kehati-hatian. Memastikan agar setiap langkah tetap sesuai dengan aturan hukum, tetapi juga harus melihat sisi kemanusiaan mereka.

Sering kali, para penghulu dihadapkan pada situasi yang kompleks, di mana logika hukum harus berpadu dengan sentuhan hati. Menjaga keseimbangan antara menjalankan hukum negara dan agama dengan melayani pasangan yang tengah berjuang dengan keputusan besar dalam hidup mereka. Di balik setiap akad yang diucapkan, tersimpan kisah perjuangan. Bukan hanya soal cinta yang diuji oleh perbedaan keyakinan, tetapi juga tentang keberanian untuk menghadapi dunia yang sering kali tidak memberikan pilihan yang mudah. Di sinilah, KUA Mataram Baru menjadi lentera harapan, tempat cinta dan keyakinan menemukan jalan untuk saling menguatkan. (Wasthan)

Share | | | |