SERBA SERBI RAKERCAB PC APRI KOTA BANJARMASIN
Opini

SERBA SERBI RAKERCAB PC APRI KOTA BANJARMASIN

  21 May 2024 |   86 |   Penulis : Biro Kajian Hukum Islam & Karya Ilmiah|   Publisher : Biro Kajian Hukum Islam & Karya Ilmiah

SELASA, 14 MEI 2024 Selasa, 14 Mei 2024 Pukul 13.00 s.d 16.00 WITA, bertempat di Musalla Al Mishbah Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin, merupakan hari bersejarah dalam organisasi profesi kepenghuluan Kota Banjarmasin. Betapa tidak, di hari itu, keinginan yang sudah lama dinanti-nantikan oleh para penghulu, dapat terwujud dalam pertemuan rapat kerja pengurus cabang asosiasi penghulu Kota Banjarmasin. Rapat kerja tersebut tidak saja diliput oleh wartawan media elektronik (TVRI Kalimantan Selatan), namun diliput dan diberitakan pula oleh wartawan media cetak yang ada di wilayah Kota Banjarmasin.
Bermuara dari tuntutan anggota penghulu yang menuntut Pengurus Cabang Asosiasi Penghulu Kota Banjarmasin untuk segera melaksanakan rapat kerja, karena banyak permasalahan kepenghuluan yang harus dimusyawarahkan, bahkan mengancam untuk menghentikan kewajiban membayar iuran bulanan dan akan keluar dari keanggotaan, karena merasa hak-hak penghulu masih terabaikan dan belum diperjuangkan.
Surat terbuka yang dibuat oleh salah satu anggota penghulu yang isinya menyatakan bahwa:
“Hak berbicara dan bersuara, serta mengajukan saran dan usul, merupakan hak setiap anggota APRI yang diatur dalam rumusan pasal 7 AD-ART APRI. Sebagai Organisasi Profesi, APRI mempunyai tujuan diantaranya: menampung, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi penghulu. Bahkan bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan Penghulu, sebagaimana rumusan Pasal 3 AD-ART APRI."
Dalam menyikapi dan menjembatani setiap aspirasi dan upaya memperjuangkan kepentingan (kesejahteraan) bagi para Penghulu sebagai anggota biasa, PC APRI diamanatkan untuk melakukan musyawarah dan rapat-rapat sebagaimana diatur dalam rumusan Pasal 9 AD-ART APRI. diantaranya bentuk musyawarah tersebut adalah melakukan rapat kerja cabang dan rapat koordinasi antar anggota.
Saat ini, dalam kegiatan kepenghuluan yang salah satu tugas pokoknya adalah memeriksa, menghadiri dan mencatat setiap peristiwa nikah yang didaftarkan pada KUA masing-masing kecamatan, terjadi ketimpangan dalam hal pembagian jatah pelaksanaan. Tidak ada keselarasan antara satu penghulu dan penghulu lainnya. Terlihat dalam laporan triwulan pada SKP tahun 2024, yang bukti fisik kegiatannya ter upload dalam e-Kinerja, jumkah angka kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing penghulu sangat berbeda. Ada yang masih berada antara 15 s.d 30 peristiwa yang dilayani, sementara yang lainnya ada yang mencapai hampir 100 bahkan ada yang lebih dari itu.
Hal ini sangatlah membingungkan, terutama saat targer ketercapaian SKP tahun 2024 akan dibuat untuk jangka 1 tahun ke depan, apakah patokannya 15 sampai 30 peristiwa pertriwulan (target 60 sampai 120 Peristiwa), ataukah berpatokan pada angka tertinggi dengan pelaksanaan 100 pertriwulan (400 Peritiswa dalam setahun).
Ketetapan angka ketercapaian target SKP ini berpengaruh pada nilai akhir dan pendapatan tambahan (kesejahteraan) bagi setiap penghulu, sebab pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah yang dilakukan di luar Balai Nikah mempunyai nilai upah transport dan jaspro. Artinya makin banyak terlaksana kegiatan pencatatan di luar Balai Nikah, maka pendapatan Penghulu sebagai petugas pelaksana makin banyak. Inilah yang menimbulkan kecemburuan dalam proses pelaksanaan pencatatan persitiwa nikah di tingkat kecamatan, yang lebih banyak didominasi oleh Kepala KUA sebagai pimpinan tertinggi penghulu di tingkat kecamatan.
Untuk itu, sebagai organisasi, wadah menyalurkan aspirasi dan untuk penyamarataan sesuai asas keadilan bersama, PC APRI mempunyai tanggung jawab kewajiban untuk menetapkan dasar regulasi yang didasarkan pada kesepakatan dalam rapat kerja yang berkaitan dengan kesamaan hak dan kewajiban anggota APRI, terutama tentang ketetapan batas minimal hak/kewajiban bagi setiap penghulu untuk melakukan pemeriksaan, menghadiri dan mencatat peristiwa nikah yang terdaftar dalam masing-masing KUA Kecamatan.
Dasar regulasi ini sangatlah penting ditetapkan, mengingat target SKP setiap tahun yang dibikin oleh masing-masing penghulu, mestinya selaras dan seimbang antara satu dengan yang lainnya (bukan semaunya tanpa dasar regulasi yang jelas).
Selain itu, penetapan dasar regulasi tentang hak/kewajiban penghulu ini bertujuan untuk menekan kesewenang-wenangan pemangju jabatan tertinggi di KUA Kecamatan dalam mengambil jatah pelayanan, yang akhirnya memunculkan kecemburuan yang berakibat lahirnya ketidakharmonisan antara penghulu biasa dengan para pemangku jabatan sebagai pimpinan tertinggi di KUA Kecamatan.
Bahkan penetapan dasar regulasi tentang hak/kewajiban penghulu ini bertujuan untuk menekan aksi balas dendam bagi para penghulu yang baru dipromosikan menjadi Pimpinan/Kepala KUA di kecamatan. Mengingat saat dirinya menjadi penghulu biasa, dirinya merasa telah dizalimi dengan kurangnya jatah dalam pelayanan peristiwa nikah, dan saat dilantik menjadi pimpinan, upaya balas dendampun mungkin tak dapat dielakan.
Melalui surat pernyataan terbuka tersebut, harapannya agar Pengurus Inti PC APRI berkenan menindaklanjuti usulan untuk melaksanakan Rapat Kerja Cabang, mengingat hal tersebut sangat penting untuk dibahas dan ditetapkan dalam musyawarah mufakat.
Pengurus Cabang Asosiasi Penghulu Kota Banjarmasin yang diketuai oleh Muhlidi, S.Ag, MA, setelah menerima surat pernyataan terbuka dari anggota penghulu tersebut, melalui pertimbangan yang matang dan berkonsultasi dengan Kepala Kementrian Agama Kota Banjarmasin, akhirnya memutuskan untuk segera melaksanakan rapat kerja cabang penghulu kota Banjarmasin.
Rakercab penghulu Kota Banjarmasin membahas isu sangat penting yang dihadapi dan menjadi masalah bersama bagi para penghulu. Isu dan permasalahan tersebut telah terlaporkan ke Pengurus Cabang untuk segera ditindaklanjuti dan dibahas dalan forum resmi sesuai AD-ART oraganisasi. Isu utama yang dibahas adalah tentang masa jabatan Kepala KUA yang dinilai telah melampaui /batas periode jabatan merupakan isu hangat yang sebelumnya telah banyak disampaikan oleh anggota penghulu. Periode jabatan yang mestinya 4 (empat) tahun sekali dilakukan mutasi atau pergantian, namun karena alasan yang tidak jelas, periode jabatan Kepala KUA tersebut terabaikan, hingga ada yang bertahan menduduki jabatan hingga lebih dari 10 tahun.
Hal ini jelas sebuah pelanggaran regulasi. Pelanggaran terhadap amanat Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, rumusan Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh masa atau tenggang waktu wewenang”. Pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja KUA Kecamatan, rumusan Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan bahwa jabatan Kepala KUA Kecamatan dibatasi paling lama 4 (empat) tahun. Juga pelanggaran terhadap Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 916 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Masa Bakti Jabatan Kepala KUA Kecamatan yang menyebutkan bahwa “masa bakti jabatan Kepala KUA Kecamatan paling lama lama 4 (empat) tahun terhitung sejak diangkat menjadi Kepala KUA Kecamatan, termasuk dimutasi pada KUA Kecamatan yang berbeda”. Jabatan tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) masa bakti berikutnya apabila: memiliki kinerja yang baik, keterbatasan SDM Penghulu, kondisi geografis terdalam, terluar dan tertinggal. Aturan tambahannya menyebutkan bahwa “perhitungan masa jabatan tersebut dihitung dari sejak ASN tersebut menjabat sebagai Kepala KUA. Kepala KUA yang telah menjabat selama 4 (empat) tahun dihitung telah menduduki 1 (satu) masa bakti jabatan; Kepala KUA Kecamatan yang telah menjabat lebih dari 4 (empat) tahun dan kurang dari 8 (delapan) tahun, maka masa baktinya dihitung sampai akhir masa bakti paling lama 8 (delapan) tahun; dan Kepala KUA yang telah menjabat 2 (dua) masa bakti dihitung telah melaksanakan 2 (dua) kali masa bakti”.
Keadaan seperti ini sangat memprihatinkan. Akibat bertahan dalam jabatan yang bertentangan dengan regulasi, maka jabatan Kepala KUA yang menduduki jabatan melebihi batas waktu yang ditentukan dapat dikatakan ilegal karena cacat hukum. Akibatnya, perbuatan dalam pelaksanaan tugasnyapun dapat dikategorikan tidak sah dan batal atas nama hukum. Kewenangannya yang bersifat managerial tidak sah, dan kedudukan serta pelaksanaan wali hakim di wilayah kecamatan tempat kerjanyapun dapat dikatakan tidak sah.
Semestinya, Kepala Seksi Bimas Islam yang mempunyai hak rekomendasi, ketika telah mengetahui bahwa masa jabatan kepala KUA telah habis, merekomendasikannya untuk diberhentikan atau dimutasikan ke kecamatan lain. Selanjutnya Kepala Kementerian Agama Kabupaten/Kota melanjutkan dengan mengusulkan ke Kepala Kanwil Kementreian Agama Provinsi melalui hasil rapat Baperjakat untuk segera memberhentian atau memutasikannya.
Seandainya, usulan pemberhentian atau pemutasian semua Kepala KUA yang telah habis masa periode jabatan tersebut tidak dapat direalisasikan karana terkendala dalam proses prosedural, maka lebih bijak dan normatif dikeluarkan SK Plt (Surat Keputusan Pelaksana Tugas) dari Kepala Kementerian Agama Kota/Kabupaten, yang didasarkan atas alasan adanya “kekosongan jabatan” karena secara hukum masa jabatannya telah habis.
Lebih bijak lagi, sebagai bentuk ketaatan terhadap regulasi yang telah diucapkan dalam pengambilan sumpah jabatan saat awal dilakukan pelantikan jabatan, semestinya pernyataan sumpah tersebut dibuktikan dalam real tindakan nyata dengan “mengundurkan diri secara hormat sebagai Kepala KUA Kecamatan” karena telah habis masa periode jabatan yang dipegang. Bukan hanya diam dan menikmati jabatan, meskipun telah tahu kenyataan bertentangan, dan pura-pura tidak tahu menahu karena ingin tetap bertahan dalam jabatan.
Ilustrasi ringan, seorang PNS yang mempunyai masa aktif sebagai pegawai dibatasi berumur 58 tahun. Seandainya dalam akhir waktu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut, PNS tersebut belum menerima SK pensiunan dari status kepegawainnya, apakah masih dapat dikatakan bahwa PNS tersebut berhak atas status pegawainya? Atau berhenti seketika setelah sampai genap usianya 58 tahun tanpa terlebih dahulu menunggu SK pensiunan. Jawabnya tentu semua PNS pensiunnya tidak terikat dengan SK dan dengan sendirinya berhenti ketika mencapai batas usia pensiun.
Isu yang tidak kalah penting yang dibasah dalan rakercab tersebut adalah sebagaimana tuntutan anggota penghulu dalam pernyataan terbukanya adalah mengenai target kewajiban (hak) masing-masing penghulu dalam melaksanakan tugas kepenghuluan. Telah terjadi ketimpangan dalam hal pembagian jatah pelaksanaan tugas kepenghuluan yang lebih didominasi oleh Kepala KUA. Hal ini berakibat pada sulitnya menentukan angka standar ketercapaian pelayanan dalam SKP penghulu, yang berujung pada sulitnya menentukan penilaian ketercapaian kinerja penghulu. Di sisi lain, memunculkan perasaan kecemburuan bagi penghulu, disebabkan berbedanya hasil pendapatan berdasarkan nilai upah jasa transport dan jasa profesi. Padahal, beban pemeriksaan sama, mestinya pembagian pelayanan akad nikahnyapun seimbang.
Mengacu pada Analisis Beban Kerja (ABK) kebutuhan penghulu per KUA kecamatan, sebagaimana diatur dalam PMA Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perhitungan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu dan Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 461 Tahun 2020 tentang Penetapan Komposisi Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu bahwa peraturan ini mengatur tentang rumus perhitungan penetapan kebutuhan jabatan penghulu untuk masing-masing KUA. Rumusan Pasal 5 ayat (2) PMA Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan bahwa kebutuhan jabatan fungsional penghulu berdasarkan tipologi dihitung berdasarkan rumus peristiwa nikah antara 1.201 s.d 1.440 diberi nilai 6, dan antara 961 s.d 1.200 diberi nilai 5. Penilaian indikator tersebut ditambah jumlah penduduk yang beragama Islam dan indikator luas wilayah dan kondisi geografis dengan menambahkan nilai 1. Hal ini menunjukan pengertian bahwa setidaknya untuk peristiwa nikah antara 1.201 s.d 1.440 pertahun diperlukan 7 orang penghulu dan peristiwa nikah antara 961 s.d. 1.200 pertahun diperlukan 6 orang penghulu.
Dengan demikian, diketahui rumus perhitungan beban kerja untuk masing-masing penghulu dalam hal memeriksa, menghadiri dan mencatat peristiwa nikah perbulan adalah antara 13 s.d 20 peristiwa, atau minimal masing-masing penghulu dibebankan tugas antara 160 s.d 240 peristiwa nikah pertahun.
Namun peraturan ini dinilai hanya sebagai konsep dasar perhitungan komposisi jumlah penghulu untuk setiap KUA, belum secara pasti menyebutkan batas minimal hak/kewajiban untuk masing-masing penghulu. Untuk itu, sebagai upaya mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi para penghulu, sangatlah penting ditetapkan batas minimal hak/kewajiban bagi setiap penghulu untuk melakukan pemeriksaan, menghadiri dan mencatat peristiwa nikah yang terdaftar dalam masing-masing KUA Kecamatan.
Isu lainnya yang tidak kalah penting yang dibicarakan dalam rakercab tersebut adalah mengenai permasalahan SOP masing-masing KUA di wilayah Kota Banjarmasin yang berlainan. Banyak pelaku layanan di masyarakat yang berkeluh kesah setelah menerima layanan dari KUA Kecamatan. Tidak sedikit dari mereka memindahkan permohonan nikah ke KUA lainnya, karena di KUA dimana rencana tempat akad nikah dilaksanakan, menolak mencatat peristiwa nikahnya dengan alasan yang kurang jelas. Kasus penolakan pelaksanakan akad nikah di hari kerja di balai nikah KUA, yang pendaftarannya kurang dari 10 (sepuluh) hari masa pendaftaran, dengan memaksa calon penganten untuk melaksanakan akad nikah di luar jam kerja atau di luar balai nikah. Dan kasus penolakan pencatatan nikah yang dilaksanakan di balai nikah tempat tinggal calon suaminya, yang oleh petugas memerintahkannya untuk melakukan proses pendaftaran dan pencatatan nikah di tempat tinggal calon istrinya. Sementara, KUA lainnya tetap memproses pencatatan dengan mengabaikan (tanpa melihat) kedua permasalahan tersebut. Kedua kasus ini menjadi bukti ketidaksamaan antara SOP KUA satu dengan KUA lainnya.
Harapannya melalui rakercab, setiap KUA mempunyai SOP standar yang berlaku pada pelayanan se Kota Banjarmasin yang sama, yang dijadikan dasar dalam setiap pelayanan pada tiap-tiap KUA. Agar kedepannya tidak ada lagi suara sumbang dari Pelaku Pelayanan, yang nadanya mengadu bahkan berkeluh kesah atas apa yang telah teralami dalam proses dan prosedur pelayanan di KUA Kecamatan Kota Banjarmasin.
Demikian serba serbi rakercab PC APRI Kota Banjarmasin ini tertuang dalam narasi tulisan. Tidak semua ternarasikan, hanya sebagian isu penting yang tertuangkan. Harapan semua, apa tersampaikan dan direkomendasikan, menjadi perhatian dan dapat terealisasi dalam bentuk kenyataan. Agar supremasi hukum berjalan yang dibuktikan dengan ketaatan pada regulasi aturan, kesamaan hak dan keadilan penghulu tegak berdiri tanpa memandang sesuatu yang menyertai, kemampuan keilmuan dan profisionalitas penghulu dan kesejahteraannya makin meningkat. Insyaallah.

Share | | | |