
Opini
SERBA SERBI RAKERCAB PC APRI KOTA BANJARMASIN
21 May 2024 | 285 | Penulis : Biro Kajian Hukum Islam & Karya Ilmiah| Publisher : Biro Kajian Hukum Islam & Karya Ilmiah
SELASA, 14 MEI 2024
Selasa, 14 Mei 2024 Pukul 13.00 s.d 16.00 WITA, bertempat di Musalla
Al Mishbah Kantor Kementerian Agama Kota Banjarmasin, merupakan hari
bersejarah dalam organisasi profesi kepenghuluan Kota Banjarmasin. Betapa
tidak, di hari itu, keinginan yang sudah lama dinanti-nantikan oleh para
penghulu, dapat terwujud dalam pertemuan rapat kerja pengurus cabang
asosiasi penghulu Kota Banjarmasin. Rapat kerja tersebut tidak saja diliput
oleh wartawan media elektronik (TVRI Kalimantan Selatan), namun diliput
dan diberitakan pula oleh wartawan media cetak yang ada di wilayah Kota
Banjarmasin.
Bermuara dari tuntutan anggota penghulu yang menuntut Pengurus
Cabang Asosiasi Penghulu Kota Banjarmasin untuk segera melaksanakan
rapat kerja, karena banyak permasalahan kepenghuluan yang harus
dimusyawarahkan, bahkan mengancam untuk menghentikan kewajiban
membayar iuran bulanan dan akan keluar dari keanggotaan, karena merasa
hak-hak penghulu masih terabaikan dan belum diperjuangkan.
Surat terbuka yang dibuat oleh salah satu anggota penghulu yang
isinya menyatakan bahwa:
“Hak berbicara dan bersuara, serta mengajukan saran dan usul, merupakan
hak setiap anggota APRI yang diatur dalam rumusan pasal 7 AD-ART APRI.
Sebagai Organisasi Profesi, APRI mempunyai tujuan diantaranya:
menampung, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi penghulu. Bahkan
bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan Penghulu, sebagaimana
rumusan Pasal 3 AD-ART APRI."
Dalam menyikapi dan menjembatani setiap aspirasi dan upaya
memperjuangkan kepentingan (kesejahteraan) bagi para Penghulu sebagai
anggota biasa, PC APRI diamanatkan untuk melakukan musyawarah dan
rapat-rapat sebagaimana diatur dalam rumusan Pasal 9 AD-ART APRI. diantaranya bentuk musyawarah tersebut adalah melakukan rapat kerja
cabang dan rapat koordinasi antar anggota.
Saat ini, dalam kegiatan kepenghuluan yang salah satu tugas pokoknya
adalah memeriksa, menghadiri dan mencatat setiap peristiwa nikah yang
didaftarkan pada KUA masing-masing kecamatan, terjadi ketimpangan
dalam hal pembagian jatah pelaksanaan. Tidak ada keselarasan antara satu
penghulu dan penghulu lainnya. Terlihat dalam laporan triwulan pada SKP
tahun 2024, yang bukti fisik kegiatannya ter upload dalam e-Kinerja, jumkah
angka kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing penghulu sangat
berbeda. Ada yang masih berada antara 15 s.d 30 peristiwa yang dilayani,
sementara yang lainnya ada yang mencapai hampir 100 bahkan ada yang
lebih dari itu.
Hal ini sangatlah membingungkan, terutama saat targer ketercapaian SKP
tahun 2024 akan dibuat untuk jangka 1 tahun ke depan, apakah patokannya
15 sampai 30 peristiwa pertriwulan (target 60 sampai 120 Peristiwa), ataukah
berpatokan pada angka tertinggi dengan pelaksanaan 100 pertriwulan (400
Peritiswa dalam setahun).
Ketetapan angka ketercapaian target SKP ini berpengaruh pada nilai akhir
dan pendapatan tambahan (kesejahteraan) bagi setiap penghulu, sebab
pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah yang dilakukan di luar Balai Nikah
mempunyai nilai upah transport dan jaspro. Artinya makin banyak terlaksana
kegiatan pencatatan di luar Balai Nikah, maka pendapatan Penghulu sebagai
petugas pelaksana makin banyak. Inilah yang menimbulkan kecemburuan
dalam proses pelaksanaan pencatatan persitiwa nikah di tingkat kecamatan,
yang lebih banyak didominasi oleh Kepala KUA sebagai pimpinan tertinggi
penghulu di tingkat kecamatan.
Untuk itu, sebagai organisasi, wadah menyalurkan aspirasi dan untuk
penyamarataan sesuai asas keadilan bersama, PC APRI mempunyai
tanggung jawab kewajiban untuk menetapkan dasar regulasi yang
didasarkan pada kesepakatan dalam rapat kerja yang berkaitan dengan
kesamaan hak dan kewajiban anggota APRI, terutama tentang ketetapan
batas minimal hak/kewajiban bagi setiap penghulu untuk melakukan
pemeriksaan, menghadiri dan mencatat peristiwa nikah yang terdaftar dalam
masing-masing KUA Kecamatan.
Dasar regulasi ini sangatlah penting ditetapkan, mengingat target SKP setiap
tahun yang dibikin oleh masing-masing penghulu, mestinya selaras dan
seimbang antara satu dengan yang lainnya (bukan semaunya tanpa dasar
regulasi yang jelas).
Selain itu, penetapan dasar regulasi tentang hak/kewajiban penghulu ini
bertujuan untuk menekan kesewenang-wenangan pemangju jabatan
tertinggi di KUA Kecamatan dalam mengambil jatah pelayanan, yang akhirnya
memunculkan kecemburuan yang berakibat lahirnya ketidakharmonisan
antara penghulu biasa dengan para pemangku jabatan sebagai pimpinan
tertinggi di KUA Kecamatan.
Bahkan penetapan dasar regulasi tentang hak/kewajiban penghulu ini
bertujuan untuk menekan aksi balas dendam bagi para penghulu yang baru
dipromosikan menjadi Pimpinan/Kepala KUA di kecamatan. Mengingat saat
dirinya menjadi penghulu biasa, dirinya merasa telah dizalimi dengan
kurangnya jatah dalam pelayanan peristiwa nikah, dan saat dilantik menjadi
pimpinan, upaya balas dendampun mungkin tak dapat dielakan.
Melalui surat pernyataan terbuka tersebut, harapannya agar Pengurus Inti PC
APRI berkenan menindaklanjuti usulan untuk melaksanakan Rapat Kerja
Cabang, mengingat hal tersebut sangat penting untuk dibahas dan
ditetapkan dalam musyawarah mufakat.
Pengurus Cabang Asosiasi Penghulu Kota Banjarmasin yang diketuai
oleh Muhlidi, S.Ag, MA, setelah menerima surat pernyataan terbuka dari
anggota penghulu tersebut, melalui pertimbangan yang matang dan
berkonsultasi dengan Kepala Kementrian Agama Kota Banjarmasin, akhirnya
memutuskan untuk segera melaksanakan rapat kerja cabang penghulu kota
Banjarmasin.
Rakercab penghulu Kota Banjarmasin membahas isu sangat penting
yang dihadapi dan menjadi masalah bersama bagi para penghulu. Isu dan
permasalahan tersebut telah terlaporkan ke Pengurus Cabang untuk segera
ditindaklanjuti dan dibahas dalan forum resmi sesuai AD-ART oraganisasi.
Isu utama yang dibahas adalah tentang masa jabatan Kepala KUA yang
dinilai telah melampaui /batas periode jabatan merupakan isu hangat yang
sebelumnya telah banyak disampaikan oleh anggota penghulu. Periode
jabatan yang mestinya 4 (empat) tahun sekali dilakukan mutasi atau
pergantian, namun karena alasan yang tidak jelas, periode jabatan Kepala
KUA tersebut terabaikan, hingga ada yang bertahan menduduki jabatan
hingga lebih dari 10 tahun.
Hal ini jelas sebuah pelanggaran regulasi. Pelanggaran terhadap
amanat Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, rumusan Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
“wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh masa atau
tenggang waktu wewenang”. Pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Agama
(PMA) nomor 34 tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja KUA
Kecamatan, rumusan Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan bahwa jabatan
Kepala KUA Kecamatan dibatasi paling lama 4 (empat) tahun. Juga
pelanggaran terhadap Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 916 Tahun 2017
tentang Petunjuk Pelaksanaan Masa Bakti Jabatan Kepala KUA Kecamatan
yang menyebutkan bahwa “masa bakti jabatan Kepala KUA Kecamatan
paling lama lama 4 (empat) tahun terhitung sejak diangkat menjadi Kepala
KUA Kecamatan, termasuk dimutasi pada KUA Kecamatan yang berbeda”.
Jabatan tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) masa bakti berikutnya apabila:
memiliki kinerja yang baik, keterbatasan SDM Penghulu, kondisi geografis
terdalam, terluar dan tertinggal. Aturan tambahannya menyebutkan bahwa
“perhitungan masa jabatan tersebut dihitung dari sejak ASN tersebut
menjabat sebagai Kepala KUA. Kepala KUA yang telah menjabat selama 4
(empat) tahun dihitung telah menduduki 1 (satu) masa bakti jabatan; Kepala
KUA Kecamatan yang telah menjabat lebih dari 4 (empat) tahun dan kurang
dari 8 (delapan) tahun, maka masa baktinya dihitung sampai akhir masa
bakti paling lama 8 (delapan) tahun; dan Kepala KUA yang telah menjabat 2
(dua) masa bakti dihitung telah melaksanakan 2 (dua) kali masa bakti”.
Keadaan seperti ini sangat memprihatinkan. Akibat bertahan dalam
jabatan yang bertentangan dengan regulasi, maka jabatan Kepala KUA yang
menduduki jabatan melebihi batas waktu yang ditentukan dapat dikatakan
ilegal karena cacat hukum. Akibatnya, perbuatan dalam pelaksanaan
tugasnyapun dapat dikategorikan tidak sah dan batal atas nama hukum.
Kewenangannya yang bersifat managerial tidak sah, dan kedudukan serta
pelaksanaan wali hakim di wilayah kecamatan tempat kerjanyapun dapat
dikatakan tidak sah.
Semestinya, Kepala Seksi Bimas Islam yang mempunyai hak
rekomendasi, ketika telah mengetahui bahwa masa jabatan kepala KUA telah
habis, merekomendasikannya untuk diberhentikan atau dimutasikan ke
kecamatan lain. Selanjutnya Kepala Kementerian Agama Kabupaten/Kota
melanjutkan dengan mengusulkan ke Kepala Kanwil Kementreian Agama
Provinsi melalui hasil rapat Baperjakat untuk segera memberhentian atau
memutasikannya.
Seandainya, usulan pemberhentian atau pemutasian semua Kepala
KUA yang telah habis masa periode jabatan tersebut tidak dapat
direalisasikan karana terkendala dalam proses prosedural, maka lebih bijak
dan normatif dikeluarkan SK Plt (Surat Keputusan Pelaksana Tugas) dari
Kepala Kementerian Agama Kota/Kabupaten, yang didasarkan atas alasan
adanya “kekosongan jabatan” karena secara hukum masa jabatannya telah
habis.
Lebih bijak lagi, sebagai bentuk ketaatan terhadap regulasi yang
telah diucapkan dalam pengambilan sumpah jabatan saat awal dilakukan
pelantikan jabatan, semestinya pernyataan sumpah tersebut dibuktikan
dalam real tindakan nyata dengan “mengundurkan diri secara hormat
sebagai Kepala KUA Kecamatan” karena telah habis masa periode jabatan
yang dipegang. Bukan hanya diam dan menikmati jabatan, meskipun telah
tahu kenyataan bertentangan, dan pura-pura tidak tahu menahu karena ingin
tetap bertahan dalam jabatan.
Ilustrasi ringan, seorang PNS yang mempunyai masa aktif sebagai
pegawai dibatasi berumur 58 tahun. Seandainya dalam akhir waktu yang
telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut, PNS tersebut
belum menerima SK pensiunan dari status kepegawainnya, apakah masih
dapat dikatakan bahwa PNS tersebut berhak atas status pegawainya? Atau
berhenti seketika setelah sampai genap usianya 58 tahun tanpa terlebih
dahulu menunggu SK pensiunan. Jawabnya tentu semua PNS pensiunnya
tidak terikat dengan SK dan dengan sendirinya berhenti ketika mencapai
batas usia pensiun.
Isu yang tidak kalah penting yang dibasah dalan rakercab tersebut
adalah sebagaimana tuntutan anggota penghulu dalam pernyataan
terbukanya adalah mengenai target kewajiban (hak) masing-masing
penghulu dalam melaksanakan tugas kepenghuluan. Telah terjadi
ketimpangan dalam hal pembagian jatah pelaksanaan tugas kepenghuluan
yang lebih didominasi oleh Kepala KUA. Hal ini berakibat pada sulitnya
menentukan angka standar ketercapaian pelayanan dalam SKP penghulu,
yang berujung pada sulitnya menentukan penilaian ketercapaian kinerja
penghulu. Di sisi lain, memunculkan perasaan kecemburuan bagi penghulu,
disebabkan berbedanya hasil pendapatan berdasarkan nilai upah jasa
transport dan jasa profesi. Padahal, beban pemeriksaan sama, mestinya
pembagian pelayanan akad nikahnyapun seimbang.
Mengacu pada Analisis Beban Kerja (ABK) kebutuhan penghulu per
KUA kecamatan, sebagaimana diatur dalam PMA Nomor 11 Tahun
2020 tentang Perhitungan Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu dan
Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 461 Tahun 2020 tentang Penetapan
Komposisi Kebutuhan Jabatan Fungsional Penghulu bahwa peraturan ini
mengatur tentang rumus perhitungan penetapan kebutuhan jabatan
penghulu untuk masing-masing KUA. Rumusan Pasal 5 ayat (2) PMA Nomor
11 Tahun 2020 menyebutkan bahwa kebutuhan jabatan fungsional
penghulu berdasarkan tipologi dihitung berdasarkan rumus peristiwa nikah
antara 1.201 s.d 1.440 diberi nilai 6, dan antara 961 s.d 1.200 diberi nilai 5.
Penilaian indikator tersebut ditambah jumlah penduduk yang beragama
Islam dan indikator luas wilayah dan kondisi geografis dengan
menambahkan nilai 1. Hal ini menunjukan pengertian bahwa
setidaknya untuk peristiwa nikah antara 1.201 s.d 1.440 pertahun
diperlukan 7 orang penghulu dan peristiwa nikah antara 961 s.d. 1.200
pertahun diperlukan 6 orang penghulu.
Dengan demikian, diketahui rumus perhitungan beban kerja untuk
masing-masing penghulu dalam hal memeriksa, menghadiri dan mencatat
peristiwa nikah perbulan adalah antara 13 s.d 20 peristiwa, atau
minimal masing-masing penghulu dibebankan tugas antara 160 s.d 240
peristiwa nikah pertahun.
Namun peraturan ini dinilai hanya sebagai konsep dasar perhitungan
komposisi jumlah penghulu untuk setiap KUA, belum secara pasti
menyebutkan batas minimal hak/kewajiban untuk masing-masing penghulu.
Untuk itu, sebagai upaya mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi
para penghulu, sangatlah penting ditetapkan batas minimal hak/kewajiban
bagi setiap penghulu untuk melakukan pemeriksaan, menghadiri dan
mencatat peristiwa nikah yang terdaftar dalam masing-masing KUA
Kecamatan.
Isu lainnya yang tidak kalah penting yang dibicarakan dalam rakercab
tersebut adalah mengenai permasalahan SOP masing-masing KUA di
wilayah Kota Banjarmasin yang berlainan. Banyak pelaku layanan di
masyarakat yang berkeluh kesah setelah menerima layanan dari KUA
Kecamatan. Tidak sedikit dari mereka memindahkan permohonan nikah ke
KUA lainnya, karena di KUA dimana rencana tempat akad nikah
dilaksanakan, menolak mencatat peristiwa nikahnya dengan alasan yang
kurang jelas. Kasus penolakan pelaksanakan akad nikah di hari kerja di balai
nikah KUA, yang pendaftarannya kurang dari 10 (sepuluh) hari masa
pendaftaran, dengan memaksa calon penganten untuk melaksanakan akad
nikah di luar jam kerja atau di luar balai nikah. Dan kasus penolakan
pencatatan nikah yang dilaksanakan di balai nikah tempat tinggal calon
suaminya, yang oleh petugas memerintahkannya untuk melakukan proses
pendaftaran dan pencatatan nikah di tempat tinggal calon istrinya.
Sementara, KUA lainnya tetap memproses pencatatan dengan mengabaikan
(tanpa melihat) kedua permasalahan tersebut. Kedua kasus ini menjadi bukti
ketidaksamaan antara SOP KUA satu dengan KUA lainnya.
Harapannya melalui rakercab, setiap KUA mempunyai SOP standar
yang berlaku pada pelayanan se Kota Banjarmasin yang sama, yang dijadikan
dasar dalam setiap pelayanan pada tiap-tiap KUA. Agar kedepannya tidak
ada lagi suara sumbang dari Pelaku Pelayanan, yang nadanya mengadu
bahkan berkeluh kesah atas apa yang telah teralami dalam proses dan
prosedur pelayanan di KUA Kecamatan Kota Banjarmasin.
Demikian serba serbi rakercab PC APRI Kota Banjarmasin ini tertuang
dalam narasi tulisan. Tidak semua ternarasikan, hanya sebagian isu penting
yang tertuangkan. Harapan semua, apa tersampaikan dan
direkomendasikan, menjadi perhatian dan dapat terealisasi dalam bentuk
kenyataan. Agar supremasi hukum berjalan yang dibuktikan dengan ketaatan
pada regulasi aturan, kesamaan hak dan keadilan penghulu tegak berdiri
tanpa memandang sesuatu yang menyertai, kemampuan keilmuan dan
profisionalitas penghulu dan kesejahteraannya makin meningkat. Insyaallah.