Hati yang Berbicara
Inspirasi

Hati yang Berbicara

  10 Jan 2025 |   22 |   Penulis : PC APRI Lampung Timur|   Publisher : Biro Humas APRI Lampung

Hati yang Berbicara

oleh : [H. Kasbolah, M. Pd]


Aku adalah seorang Aparatur Sipil Negara di Kementerian Agama, sehari-hari bekerja sebagai Penghulu di KUA Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur. Pekerjaan ini adalah panggilan jiwa, melayani masyarakat dalam urusan pernikahan, bimbingan keluarga, hingga kegiatan keagamaan lainnya. Sebagai bagian dari tugas mulia ini, aku juga sering menjadi imam sholat, memimpin doa, dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, ketika anakku didiagnosis autisme di usianya yang baru dua tahun, kehidupan yang selama ini kujalani terasa runtuh.

Semua pekerjaanku mendadak kehilangan fokus. Pikiran ini sering mengembara ke rumah, membayangkan anakku yang membutuhkan perhatian lebih. Saat di kantor, aku merasa sulit berkonsentrasi, bahkan tugas sederhana seperti menyusun jadwal nikah seringkali terasa berat. Di masyarakat, sebagai takmir Masjid di Kelurahan Mulyo Ati, Kota Metro, tanggung jawabku memimpin kegiatan keagamaan terasa begitu menekan. Aku sering merasa seolah-olah apa pun yang kulakukan salah. Ada saat-saat aku memimpin shalat berjamaah, tapi pikiranku melayang, bertanya-tanya apakah anakku baik-baik saja di rumah. Semua terasa kacau, seperti aku berjalan tanpa arah.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk terapi dan kebutuhan khusus anakku membuat keuangan keluarga goyah. Mimpi sederhana untuk menabung atau menyisihkan uang guna masa depan terasa begitu jauh. Setiap gaji yang kuterima langsung habis untuk membayar konsultasi dokter, terapi wicara, atau alat bantu belajar. Bahkan, ada saat di mana aku harus meminjam uang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Rasanya aku seperti orang yang tenggelam, berusaha berenang ke permukaan tetapi selalu ditarik kembali oleh arus.

Di tengah semua ini, aku sering mencoba berdoa, tetapi kata-kata rasanya sulit terucap. Di dalam hati, aku hanya bisa berkata, “Ya Allah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tolong aku...” Hati ini berbicara langsung kepada-Nya, meminta kekuatan, petunjuk, dan jalan keluar. Namun, kadang aku merasa doaku hanya bergema di dalam diri sendiri, tak berbalas.

Ada satu malam yang selalu kuingat. Setelah pulang dari rapat takmir masjid yang penuh dengan perdebatan, aku menemukan anakku tertidur di sofa ruang tamu. Wajahnya yang polos menghapus semua kelelahan, tapi juga menusuk hatiku. Aku bertanya dalam hati, “Ya Allah, apa aku orang tua yang gagal? Apa aku cukup untuknya?” Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.

Namun, perlahan, aku mulai melihat harapan di tengah keputusasaan. Setiap senyuman anakku adalah pengingat bahwa perjuangan ini tidak sia-sia. Setiap kata baru yang dia ucapkan setelah berbulan-bulan terapi adalah bukti bahwa ada kemajuan, sekecil apa pun itu. Aku belajar untuk menerima bahwa hidup ini mungkin tidak akan pernah sempurna, tetapi itu bukan alasan untuk berhenti berjuang.

Sebagai Penghulu dan pelayan masyarakat, aku mulai memahami bahwa pengorbananku untuk anakku adalah bagian dari ibadah. Aku menulis kembali, menuangkan perasaan dan pengalaman ini ke dalam kata-kata, berharap bisa menginspirasi orang tua lain yang menghadapi perjuangan serupa. Tulisan-tulisanku bukan lagi hanya tentang tugas keagamaan, tetapi tentang cinta, harapan, dan kekuatan yang lahir dari titik terendah.

Perjalanan ini masih panjang, dan aku mungkin tidak akan pernah tahu akhir ceritanya. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak sendiri. Ada banyak orang tua di luar sana yang sedang berjuang seperti aku. Dan aku ingin mereka tahu, melalui doa dan usaha, kita akan menemukan jalan. Bahkan di saat dunia terasa runtuh, cinta kepada anak kita akan selalu menjadi alasan untuk terus melangkah.

Share | | | |