Opini
Filsafat Ontologi Mappasikarawa Pernikahan Bugis Makassar
10 Oct 2024 | 57 | Penulis : Humas Cabang APRI Sulawesi Selatan| Publisher : Biro Humas APRI Sulawesi Selatan
Hampir semua unsur dalam prosesi ritual pernikahan kalangan Bugis-Makassar memiliki makna simbolik. Simbolisasi ritual pernikahan tersebut meniscayakan mengandung makna amat dalam, falsafah hikmah maupun kearifan yang lahir dari nilai dan tatanan moral dan budaya masyarakat tertentu (lokal ).
Dengan nilai dan tatanan tersebut akan mampu menstimuli setiap pribadi dan kelompok atau warga masyarakat untuk memahami nilai ontologis setiap realitas prilaku budaya. Para filsuf menyebutnya unsur prinsipalitas eksistensi nilai ontologis sebagai hakikat mendasar ( ashalah ), sementara esensi (mahiyah) merupakan perkara iktibari (kepersepsian manusia) sebagai asas hakikat realitas.
Berdasarkan ini, pencapaian terhadap eksistensi atau realitas entitas-entitas peradaban dan budaya merupakan pengetahuan syuhudi dan hudhuri sedangkan pencapaian terhadap mahiyah-mahiyah dan konsepsi-konsepsi entitas merupakan pengetahuan hushuli. Artinya ketersingkapan kekuatan energi dibalik entitas peradaban dan budaya “hanya dimiliki para kaum arif”.
Dalam diri manusia baik laki-laki maupun perempuan, ada nilai potensi yang amat berharga yang tidak hanya wajib dikenal oleh manusia itu akan tetapi juga wajib digali demi kemaslahatan diri mereka dunia maupun akhirat.
Dengan potensi itu pula manusia akan mampu mengenal dirinya yang plural dan mengenal Tuhannya yang Maha Tunggal untuk mencapai puncak persembahannya.
“Siapa yang mengenal dirinya yang plural, akan mengenal Tuahnnya yang Maha Tunggal, kata orang bijak
Dalam konteks pernikahan, meski kedua pasangan berada di alam plurality dalam hal ini posisinya sebagai pribadi maupun posisinya sebagai manusia yang berbeda jenis kelamin (laki-laki dan perempuan ), tetap menjunjung tinggi nilai moral pernikahan yang berujung pada nilai persembahan kepada Tuhan. Di sisi lain ada martabat nilai ketunggalan yang mesti diposisikan sebagai manusia yang berasal dari diri yang satu ( Min Nafsin Wahidah )
Dengan alasan tersebut, maka dalam konteks pernikahan jelas ada titik kulminasi nilai dalam setiap insan (laki-laki dan perempuan) yang ingin dipertemukan untuk mewujudkan kembali nilai perjanjian (mitsaq) serta menciptakan perpaduan insani dalam berkah dan mahabbah.
Salah satu ritual yang dilakukan manusia itu adalah melakukan persentuhan badani pada salah satu anggota tubuh kedua jenis laki-laki maupun perempuan itu.
Dalam prosesi pernikahan Adat Bugis-Makassar dilaksanakan setelah akad nikah digelar, dikenal dengan Mappasikarawa atau persentuhan awal
Prosesi Mappasikarawa dilaksanakan di mana mempelai pria dituntun oleh orang yang memiliki nilai kelimuan misalnya Imam, Orang Alim, Urafa, Anre Guru (bugis) ataupun semacam penati yang dituakan untuk menuju tempat khusus sebelum kedua mempelai didudukkan di pelaminan.
Tradisi ini biasanya dilakukan setelah selesai prosesi ijab kabul atau akad nikah. Maksud dari simbol tersebut yaitu, untuk lebih memahami adat Bugis Mappasikarawa yakni , agar dalam menjalani kehidupan rumah tangganya senantiasa menjaga keseimbangan hubungan harmoni dalam suasana tenang dan bahagia.
Makna tradisi ini, juga bisa ditemukan sebagai simbol-simbol yang sarat makna sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Yunus dan Rahmatia Yunus dalam bukunya Rekonsiliasi Manusia Ekonomi (2013), dengan mempertemukan ibu jari (jempol) tangan laki-laki dan perempuan ketika saling berhadapan.
(baca buku Hukum Adat di Indonesia karya Dr. Gemala Dewi (2021)
Tradisi ini tidak boleh dilakukan sembarangan. Ada tahapan tertentu yang mesti ditaati karena memiliki nilai simbolik.
( baca jurnal Tradisi Mappasikarawa dalam Perkawinan Masyarakat Bugis di Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka susunan Arini Safitri, dkk (2018).
Berikut tahapan umum adat Bugis-Makassar dalm ritual Mappasikarawa sebagai berikut:
(buka, https://kumparan.com/kabar-harian/mengenal-adat-bugis-mappasikarawa-dan-tahapan-prosesinya-20pT6wDiH6S/1 )
Pertama, mempelai laki-laki akan diantarkan ke rumah mempelai perempuan yang disebut dengan mappaenre botting urane. Kemudian dilanjutkan dengan ijab kabul dan tahap pembukaan pintu yang disebut sebagai pattimpa tange’.
Kedua, mempelai pria dan wanita akan melakukan tradisi pembatalan wudhu. Proses ini dituntun langsung oleh pappasikarawa atau orang yang dituakan.
Mempelai laki-laki akan menyentuh mempelai wanita yang sudah berstatus sebagai istrinya. Menurut masyarakat Bugis, sentuhan tersebut bisa menentukan keberhasilan keluarga yang akan dijalani kedua mempelai.
Setelah itu, mempelai laki-laki akan didudukkan berhadapan dengan mempelai wanita untuk mengikuti tradisi mappasikarawa. Prosesi ini diawali dengan pappasikarawa yang memegang ibu jari tangan mempelai laki-laki dan mempertemukan ibu jari tangan mempelai wanita.
Kemudian, pappasikarawa menyuruh kedua mempelai saling berbalas menusuk kuku lawannya selama 5 detik. Ia akan mengarahkan ibu jari tangan mempelai laki-laki ke telapak tangan mempelai wanita.
Prosesi diakhiri dengan pembacaan doa ke telinga mempelai laki-laki dengan pelan. Lalu, mempelai laki-laki mengikuti doa tersebut dan dibacakan kepada mempelai wanita.
Ketiga, Setelah tradisi mappasikarawa selesai, indo’ botting atau ibu yang dituakan dalam keluarga mempelai wanita akan menuntun kedua mempelai keluar kamar. Ini dilakukan untuk menyalami orang-orang tua di keluarga mempelai wanita (mamatoa’). Tujuannya yaitu untuk meminta doa restu.
Penulis : Syamsir Nadamuddin, S. Ag
(Penghulu, Praktisi Tarekat, Seniman dan Pecinta Budaya)
Sumber Tulisan:
- Dr. Gemala Dewi, Hukum Adat di Indonesia (2021)
- Arini Safitri, dkk, Tradisi Mappasikarawa dalam Perkawinan Masyarakat Bugis di Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka (2018).
- Mukhlis Hadhrawi, Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis-Makassar, Ininnawa (2009)
- Ust Syamsunar, P.h.D, Insan Kamil, Cet. I 2022
Editor : Alimin