Ritual Penyucian Diri Menjelang Akad Nikah: Suatu Kajian Filosofis atas Kearifan Lokal Bugis-Makassar
Opini

Ritual Penyucian Diri Menjelang Akad Nikah: Suatu Kajian Filosofis atas Kearifan Lokal Bugis-Makassar

22 Sep 2025 | 22 | Humas Cabang APRI Sulawesi Selatan | Biro Humas APRI Sulawesi Selatan

Tradisi pernikahan dalam masyarakat Bugis-Makassar bukan sekadar peristiwa sosial, tetapi juga mengandung dimensi spiritual dan kultural yang mendalam. Artikel ini menguraikan tahapan penyucian diri sebelum akad nikah yang dilakukan melalui sejumlah ritual adat. Setiap prosesi sarat dengan simbol dan makna filosofis, yang mencerminkan integrasi antara nilai keislaman dan kearifan lokal. Analisis ini menunjukkan bahwa ritual penyucian diri merupakan wujud harmonisasi antara ajaran agama, adat, dan nilai moral masyarakat Bugis-Makassar.

Pernikahan dalam pandangan masyarakat Bugis-Makassar tidak hanya berfungsi sebagai penyatuan dua individu, tetapi juga sebagai bagian dari kesinambungan adat dan agama (Hamid, 2005). Sejumlah prosesi penyucian diri dilaksanakan untuk mempersiapkan calon pengantin secara lahir dan batin sebelum memasuki kehidupan rumah tangga. Kajian ini berupaya menelaah dimensi filosofis dari tahapan tersebut dengan menekankan makna simbolik yang terkandung di dalamnya (Mattulada, 1985; Pelras, 1996).



1. Mate Manu (Pemotongan Hewan)

Prosesi ini dipahami sebagai simbol pengorbanan dan rasa syukur. Hewan yang dipotong tidak sekadar sajian, tetapi juga representasi kerelaan untuk melepaskan sesuatu yang dimiliki demi kehidupan baru (Syamsuddin, 2010).

2. Cemme Sollu

Ritual pembersihan tubuh ini melambangkan kesucian lahiriah sekaligus kesiapan batin calon pengantin. Prosesi tersebut mengajarkan pentingnya kebersihan sebagai bagian dari kesempurnaan iman (Abdullah, 2017).

3. Pemotongan Rambut atau Bulu

Pemotongan rambut atau bulu mengandung makna pembuangan sifat-sifat lama yang tidak bermanfaat, serta tanda awal kehidupan baru yang lebih baik (Rahim, 2012).

4. Khataman Al-Qur’an

Kegiatan ini memperlihatkan integrasi kuat antara adat dan Islam. Melalui khataman, calon pengantin diteguhkan bahwa kehidupan rumah tangga harus berlandaskan pada nilai-nilai Al-Qur’an (Zainuddin, 2019).

5. Daun Pacar

Pemakaian daun pacar atau inai menandakan keindahan, doa restu, dan simbol ikatan. Warna yang dihasilkan dianggap sebagai lambang keberkahan dan kebahagiaan (Rahim, 2012).

6. Zikir Syaraful Anam

Zikir ini menciptakan suasana religius yang mendalam. Lantunan doa dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai pengikat spiritual bagi calon pengantin (Abdullah, 2006).

7. Anyaman Songkolo Tiga Warna

Songkolo dengan tiga warna melambangkan harmoni, keseimbangan, dan keberagaman yang saling melengkapi. Simbol ini menegaskan bahwa rumah tangga yang kokoh harus dibangun di atas keselarasan (Pelras, 1996).

8. Akad Nikah

Akad nikah merupakan puncak prosesi, yaitu ikrar suci yang disaksikan oleh saksi, keluarga, dan masyarakat. Momen ini menegaskan legitimasi agama dan sosial dalam ikatan perkawinan (Geertz, 1973).

9. Mappasikarawa

Ritual penutup ini menegaskan pentingnya menjalin silaturahmi dan kebersamaan. Kehadirannya mencerminkan fungsi sosial pernikahan sebagai penguat solidaritas masyarakat (Hamid, 2005).

Rangkaian ritual penyucian diri sebelum akad nikah dalam tradisi Bugis-Makassar merupakan manifestasi kearifan lokal yang menyatukan nilai adat, agama, dan moral. Setiap tahapan memiliki simbol dan makna filosofis yang relevan dengan kehidupan berumah tangga. Dengan demikian, prosesi ini tidak hanya berperan sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai pedoman etis dan spiritual bagi masyarakat.

Syamsir Nadjamuddin S Ag 
Penghulu KUA Lau Maros

Daftar Pustaka

Abdullah, I. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdullah, M. (2017). Adat Pernikahan Bugis-Makassar: Integrasi Nilai Islam dan Tradisi Lokal. Makassar: Alauddin University Press.

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Hamid, A. (2005). Sistem Sosial Budaya Bugis-Makassar. Makassar: Hasanuddin University Press.

Mattulada. (1985). Latoa: Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pelras, C. (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers.

Rahim, A. R. (2012). Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara Adat Bugis. Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama.

Syamsuddin, S. (2010). “Kearifan Lokal dalam Tradisi Pernikahan Bugis-Makassar.” Jurnal Kebudayaan Nusantara, 12(2), 45–59.

Zainuddin, A. (2019). Tradisi dan Modernitas dalam Ritual Pernikahan Bugis. Jakarta: Prenadamedia Group.

Syamsir, N (Penghulu KUA Lau)

Bagikan Artikel Ini

Infografis
Tag Terpopuler