
Inspirasi
Puasamu dan Puasaku: Makna Hakiki di Balik Penahanan Diri
12 Mar 2025 | 12 | Penulis : PC APRI Lampung Timur| Publisher : Biro Humas APRI Lampung
Puasamu dan Puasaku: Makna Hakiki di Balik Penahanan Diri
*Oleh: Cah Deso Banget*
Dr. KH. Tohari/H. Kasbolah, M. Pd
Puasa, dalam hakikatnya, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga dalam rentang waktu tertentu. Jika hanya sebatas itu, maka mereka yang hidup dalam kekurangan sejatinya telah berpuasa sepanjang waktu. Puasa bukan sekadar ritual yang diatur oleh waktu, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang menuntun manusia kembali pada fitrahnya.
Puasa dan Kesadaran Diri
Puasa adalah sarana untuk menekan hawa nafsu dan mengendalikan ego. Bukan sekadar tidak makan dan minum, tetapi juga menahan segala bentuk keinginan yang melampaui batas. Ia adalah proses penyucian hati dan pikiran dari sifat merasa memiliki, merasa paling benar, atau paling unggul dibandingkan orang lain.
Ego dan keakuan manusia sering kali menjeratnya dalam ilusi kepemilikan. Padahal, segala yang ada pada diri, baik jasmani maupun rohani, adalah milik Allah SWT. Puasa sejati mengajarkan manusia untuk mengembalikan segala sesuatu kepada-Nya, mengikis kesombongan, dan melebur dalam kesadaran bahwa manusia hanyalah hamba.
Puasa yang Tak Dibatasi Waktu
Sejatinya, puasa tidak hanya berlaku dalam bulan Ramadan atau dalam hitungan jam tertentu. Puasa yang hakiki adalah perjalanan sepanjang hidup—selama jantung masih berdetak dan napas masih berhembus. Selama itu pula, manusia dituntut untuk terus menahan diri dari segala hal yang dapat menodai kesucian hati dan pikiran.
Inilah mengapa Rasulullah SAW bersabda, *"Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah."* Tidur yang dimaksud bukanlah tidur secara fisik semata, melainkan kemampuan untuk "menidurkan" ego, mengendalikan keinginan duniawi, dan mematikan rasa sombong serta anggapan diri paling benar. Rasulullah juga mengingatkan, *"Matikan dirimu sebelum engkau mati,"* yakni mematikan segala bentuk keakuan yang membuat manusia lupa akan hakikat kehambaannya.
Kesimpulan:
Puasa sebagai Jalan Kembali**
Puasa sejati bukan hanya perkara waktu, tetapi sebuah perjalanan menuju kesadaran diri. Ia adalah proses mengosongkan diri dari segala kesombongan dan kepemilikan semu, sehingga manusia dapat kembali pada fitrahnya. Bukan hanya sekadar ibadah tahunan, melainkan kesadaran spiritual yang harus terus berlangsung hingga akhir hayat.
Sebagaimana puasa mengajarkan kita untuk menahan, ia juga mengajarkan kita untuk melepaskan—melepaskan keakuan, melepaskan kesombongan, dan melepaskan segala yang bukan hak kita. Dengan demikian, puasa bukan sekadar ritual, melainkan sebuah jalan kembali kepada Allah SWT.