Nikah Siri Sah?
Opini

Nikah Siri Sah?

  15 Nov 2023 |   665 |   Penulis : Biro Kajian Hukum Islam & Karya Ilmiah|   Publisher : Biro Kajian Hukum Islam & Karya Ilmiah

Sejatinya, Nikah Siri itu sah. Menurut siapa? Tentu saja menurut undang-undang.  Praktik nikah siri di dalam masyarakat, sadar atau tidak,  diakomodir oleh undang-undang.  

Nikah siri itu sah. Baik menurut agama maupun undang-undang. Seorang laki-laki dan perempuan. Keduanya beragama Islam. Menikah. Prosesi ijab kabulnya dihadiri oleh wali dan dua orang saksi. Status hukum pernikahan ini sah secara agama. Sah pula secara hukum.

Benarkah demikian?

"Benar"

Berdasarkan apa?

"Tentu saja berdasarkan Undang-Undang".

Undang-undang yang mana?

Pastilah "Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang sudah dirubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 itu"

Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang peaksanaannya  memenuhi ketentuan agama, status hukumnya saja.   Persis seperti itu yang digariskan oleh ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1/1974. tentang Perkawinan berikut:

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan itu".

Tetapi di Indonesia, suatu pernikahan sekedar sah saja tidak cukup. Selain sah setiap perkawinan harus memenuhi kualifikasi lain. Yaitu kualifikasi yang  kerap dikenal dengan  istilah "berkekuatan hukum tetap". 

Istilah sah dan berkekuatan hukum tetap Ini, memang menjadi  semacam ambiguitas dalam pranata hukum negeri ini. Ambigu karena suatu perkawinan yang sejatinya secara hukum sah, namun  belum tentu berkekuatan hukum. 

Kekuatan hukum perkawinan, hanya bisa diperoleh melalui tindakan hukum lanjutan.  Disebut pencatatan nikah. Ini syarat mutlak untuk setiap  perkawinan. Tanpa pencatatan,  perkawinan tidaklah berkekuatan hukum. Biarpun perkawinan sah, karena telah dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (1) tadi. 

Dasar hukum pencatatan perkawinan, diatur oleh pasal berikutnya. Pasal 2 Ayat (2):

"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku"

Bukti pencatatan perkawinan hanya satu. Akta Nikah. Inilah satu-satunya dokumen otentik penentu status hukum suatu perkawinan  sah sekaligus berkekuatan hukum. Akta Nikah ini kemudian oleh KUA dibuatkan kutipan. Dua eksemplar.  Kutipan untuk suami berwarna coklat. Untuk istri, biru. Kutipan Akta nikah inilah yang kemudian dikenal oleh masyarakat luas sebagai Buku Nikah.  Tanpa adanya buku nikah,  maka perkawinan dapat dipastikan belumlah tercatat.  

Akta nikah tersimpan di Kantor KUA  pelaksana  akad nikah. Akta Nikah sangat penting fungsinya. Selain sebagai bukti asli pencatatan nikah. Juga karena sifat aslinya itu,  menjadi satu-satu rujukan legal yang menjadi rujukan pembuatan duplikat, bila suatu waktu buku nikah hilang atau rusak.  

Buku nikah yang hilang atau rusak,  dapat dimohonkan penggantiannya pada KUA  tempat pernikahan tercatat. KUA tempat Akta Nikah tersimpan. Permohonan penggantian diajukan dengan  melampirkan bukti  kehilangan atau kerusakan buku nikah. Bukti dimaksud   berupa Surat Keterangan Hilang dari  kepolisian setempat. Berdasarkan bukti kehilangan ini,  pihak KUA  akan  mengeluarkan salinan pengganti Buku Nikah.  Biasa disebut, "Duplikat Akta Nikah".  Meskipun hanya salinan dari salinan, Duplikat Buku Nikah memiliki kekuatan hukum yang persis sama dengan Buku Nikah. Tentu saja demikian. Sebab pembuatan sepenuhnya merujuk pada Akta Nikah yang tersimpan di KUA. 

Begitu pentingnya pencatatan nikah. Hingga kehilangan atau kerusakan bukti pencatatannya mesti dimohonkan penggantiannya. 

Pencatatan nikah sedemikian pentingnya.  Lantas bagaimana dengan pernikahan tak tercatat yang lazim  disebut nikah siri itu?

Nikah siri, meskipun boleh jadi sah secara hukum,  namun hampir pasti membawa bersamanya cacat bawaan. Ketidakjelasan status hukum anak, dapat disebut satu dari sekian banyak cacat  bawaan yang diakibatkan oleh pernikahan siri. 

Ala kulli hal, pernikahan siri memang memiliki dampak serius yang justru merugikan pelakunya. Juga anak yang dilahirkan dari pernikahan itu. Dampaknya bisa jadi bersifat kompleks. Sebab tidak saja berkelindan dengan aspek hukum. Melainkan juga berkait erat dengan aspek sosial dan ekonomi secara simultan.

Sialnya, -bila boleh menggunakan kata yang sedikit kasar ini-, korban utama dari berbagai dampak nikah siri, selalu saja dua pihak yang paling rentan. Perempuan dan anak-anak.


-Hayyun Nur-
Kabiro Kajian Hukum Islam dan Karya Ilmiah PP APRI

Share | | | |