Nikah Siri di Kecamatan Telaga: Dilema Sosial, Agama, dan Hukum
Opini

Nikah Siri di Kecamatan Telaga: Dilema Sosial, Agama, dan Hukum

18 Jul 2025 | 424 | Humas Cabang APRI Kab Gorontalo | Biro Humas APRI Gorontalo

Oleh: Zulkifli Tolinggi, S.HI
Penghulu KUA Kecamatan Telaga


Fenomena nikah siri terus menghiasi wajah kehidupan sosial di berbagai wilayah, termasuk di Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo. Meski sah secara agama, nikah siri tetap menyisakan pertanyaan besar: mengapa sebagian masyarakat lebih memilih jalur yang tidak tercatat secara hukum negara? Padahal, pencatatan pernikahan telah diatur dalam perundang-undangan, dan merupakan fondasi perlindungan hukum bagi perempuan dan anak.

Sebagai penghulu, saya cukup sering berhadapan dengan warga yang meminta konsultasi pernikahan. Mereka datang dengan semangat, namun kerap berujung pada keputusan untuk menikah secara siri. Alasan yang disampaikan pun beragam—mulai dari tekanan sosial, kehamilan di luar nikah, hingga kasus poligami yang tidak mendapat izin dari istri pertama.

Sayangnya, banyak dari mereka yang belum memahami risiko besar dari pernikahan yang tak tercatat. Ini bukan sekadar soal surat nikah, melainkan soal hak, perlindungan, dan kepastian hukum.

Nikah Siri: Sah di Agama, Rentan di Negara

Nikah siri, dalam konteks ini, adalah pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun secara agama, tetapi tidak dilaporkan atau dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) ataupun instansi pencatatan sipil. Berbeda dengan nikah tercatat, yang diakui secara hukum negara, nikah siri tidak memberikan status legal formal kepada istri maupun anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut.

Akibatnya, perempuan yang dinikahi siri tidak memiliki kekuatan hukum untuk menuntut nafkah, harta gono-gini, apalagi warisan. Anak pun berisiko besar tidak diakui secara administratif sebagai anak sah dari ayahnya. Dampak seperti ini kerap dianggap sepele di awal, tetapi sangat menyakitkan ketika konflik rumah tangga terjadi di kemudian hari.

Mengapa Nikah Siri Masih Terjadi?

Setidaknya ada tiga penyebab utama yang saya temukan selama bertugas di Kecamatan Telaga:

  1. Poligami Tertutup: Suami ingin menikah lagi tanpa izin dari istri pertama. Karena takut proses pencatatan mempersulit niatnya, nikah siri menjadi jalan pintas.

  2. Tekanan Sosial dan Budaya: Kehamilan di luar nikah sering menjadi alasan utama. Demi menjaga "wajah" keluarga, orang tua mendorong pasangan menikah diam-diam, tanpa memikirkan legalitasnya.

  3. Kurangnya Edukasi Hukum: Banyak warga belum memahami betapa pentingnya pernikahan tercatat untuk menjamin hak-hak hukum dan administratif mereka.

Risiko yang Tak Terlihat

Bagi perempuan dan anak, nikah siri adalah pintu masuk ke dalam ketidakpastian. Tidak ada akta nikah, tidak ada perlindungan hukum. Bahkan untuk mengurus kartu keluarga, akta kelahiran, atau BPJS pun akan menemui banyak kendala.

Dari sisi negara, nikah siri menyulitkan validitas data kependudukan dan perlindungan sosial. Tak kalah penting, praktik ini bisa merusak kepercayaan terhadap lembaga negara dan menimbulkan stigma terhadap perempuan korban nikah siri yang kerap dianggap “istri kedua gelap”.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Di KUA Kecamatan Telaga, kami mencoba hadir tidak hanya sebagai pencatat nikah, tetapi juga sebagai pendamping masyarakat. Beberapa pendekatan yang terus kami lakukan antara lain:

  • Sosialisasi Hukum dan Agama: Melalui kegiatan bimbingan perkawinan (Bimwin), khutbah nikah, dan majelis taklim, kami terus mengedukasi pentingnya pernikahan yang sah secara agama dan hukum.

  • Pendampingan Administratif: Kami membantu calon pengantin yang kesulitan mengurus dokumen pernikahan, agar tak lagi menjadikan birokrasi sebagai alasan untuk menikah siri.

  • Kolaborasi Budaya: Bersama tokoh adat dan perangkat desa, kami mendorong pendekatan yang memanusiakan persoalan. Budaya tidak boleh jadi penghalang untuk taat hukum.

Menikah Secara Sah: Bukan Sekadar Taat Hukum, Tapi Melindungi Martabat

Perlu kita pahami bersama, nikah tercatat bukan hanya kewajiban administratif, tetapi wujud nyata perlindungan terhadap martabat perempuan dan masa depan anak. Dalam perspektif maqashid al-syari’ah, perlindungan terhadap keturunan dan hak keluarga merupakan tujuan pokok dari disyariatkannya pernikahan.

Dilema nikah siri memang tidak mudah diberantas, karena melibatkan banyak dimensi: ekonomi, budaya, hingga persepsi keagamaan. Namun, jika seluruh pihak—masyarakat, pemerintah desa, tokoh agama, dan KUA—bekerja sama, maka pergeseran kesadaran itu niscaya terjadi.

Masyarakat berhak untuk bahagia, tetapi kebahagiaan itu seharusnya dibangun di atas fondasi yang kokoh: agama yang benar, hukum yang jelas, dan keadilan yang menyeluruh.


Catatan: Tulisan ini merupakan refleksi pengalaman penulis sebagai penghulu yang berhadapan langsung dengan fenomena nikah siri di tingkat akar rumput. Semoga bisa menjadi bahan perenungan bersama, bukan hanya di Telaga, tetapi juga di seluruh penjuru Indonesia.

Bagikan Artikel Ini

Infografis
Tag Terpopuler