
Nikah Siri, Cerai Diam-Diam, dan Menikah Lagi: Kajian Hukum Administratif dalam Pelayanan Nikah di KUA
16 Jul 2025 | 382 | Humas Cabang APRI Bone Bolango | Biro Humas APRI Gorontalo
Oleh: Awen Tongkonoo, S.Sos.I, M.H (Ketua APRI Cabang Bone Bolango)
Dalam praktik sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia, fenomena nikah siri masih sering dijumpai. Perkawinan ini sah secara agama, namun tidak dicatatkan secara resmi oleh negara melalui Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat Islam. Akibatnya, pasangan tersebut tidak memiliki akta nikah, dan dalam dokumen kependudukan hanya tercantum sebagai "Kawin Tidak Tercatat" di Kartu Keluarga, sementara pada KTP sering kali tertulis "Kawin".
Status "Kawin Tidak Tercatat" merupakan bentuk kompromi administratif antara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dan realitas sosial masyarakat, yang didasarkan pada Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang diajukan oleh penduduk. Namun, ketika pasangan yang menikah siri ini kemudian berpisah tanpa proses hukum (cerai di pengadilan), dan salah satu pihak hendak menikah kembali secara resmi di KUA, muncul persoalan hukum dan administratif yang harus disikapi dengan cermat oleh Penghulu.
1. Status 'Kawin Tidak Tercatat' Bukan Status Legal
Secara hukum, yang dimaksud dengan perkawinan sah menurut negara adalah perkawinan yang dicatatkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika perkawinan hanya dilakukan secara agama (nikah siri) dan tidak dicatatkan di KUA, maka hubungan suami istri tersebut tidak diakui secara hukum oleh negara, meskipun sah menurut agama.
Dengan demikian, apabila pasangan yang menikah siri kemudian berpisah secara agama tanpa proses cerai di pengadilan, maka dari sudut pandang hukum negara, hubungan itu dianggap tidak pernah ada. Konsekuensinya, pihak yang bersangkutan secara administratif dianggap belum pernah menikah.
2. Peran SPTJM dalam Penetapan Status Kependudukan
SPTJM digunakan ketika penduduk tidak dapat menunjukkan dokumen resmi atas peristiwa kependudukan tertentu, termasuk status perkawinan. Dokumen ini bukanlah bukti sah perkawinan, melainkan pernyataan administratif yang bertujuan untuk memutakhirkan data kependudukan agar sesuai dengan kondisi sosial faktual.
Dengan dasar SPTJM, Disdukcapil dapat mencantumkan status "Kawin" di KTP dan "Kawin Tidak Tercatat" di KK. Namun perlu digarisbawahi bahwa SPTJM tidak memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti perkawinan yang sah. SPTJM tidak dapat dijadikan dasar untuk memperoleh hak-hak hukum seperti hak waris, hak atas anak, maupun hak untuk bercerai secara resmi, kecuali diperkuat dengan penetapan isbat nikah dari Pengadilan Agama.
3. Status Lama Belum Jelas, Apakah Bisa Menikah Lagi?
Ketika seseorang yang berstatus "Kawin Tidak Tercatat" datang ke KUA untuk menikah kembali, Penghulu tidak serta-merta dapat menerima dan memproses berkas permohonan nikah tersebut. Meskipun secara hukum negara individu tersebut dianggap belum pernah menikah, namun dari perspektif sosial dan keagamaan, hubungan sebelumnya tetap diakui.
Oleh karena itu, Penghulu wajib melakukan klarifikasi dan verifikasi administratif sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjalankan tugas.
Langkah-langkah yang lazim dilakukan oleh Penghulu/Kepala KUA antara lain:
· Memeriksa kelengkapan dokumen seperti KTP dan KK calon pengantin.
· Meminta penjelasan lisan maupun tertulis dari pihak yang bersangkutan.
· Jika diperlukan, meminta surat pernyataan bahwa yang bersangkutan telah berpisah secara agama.
Bila kasusnya cukup kompleks (misalnya terdapat anak atau potensi sengketa), maka disarankan untuk terlebih dahulu menempuh isbat nikah dan cerai secara resmi di Pengadilan Agama.
4. Sikap Hukum dan Etika Penghulu
Sebagai Penghulu, saya menegaskan bahwa permohonan pernikahan baru hanya akan diproses jika status perkawinan sebelumnya telah jelas, baik dengan:
· Bukti belum pernah menikah,
· Surat pernyataan berpisah dari hubungan nikah siri, atau
· Salinan putusan pengadilan (isbat atau cerai resmi).
Penghulu bukan sekadar pelaksana akad nikah, tetapi juga pejabat negara yang bertanggung jawab memastikan bahwa setiap peristiwa nikah yang dicatatkan memenuhi unsur keabsahan hukum, serta tidak menimbulkan masalah sosial atau hukum di kemudian hari.
5. Kesimpulan Tegas
Dari perspektif hukum administrasi:
Seseorang yang berstatus “Kawin Tidak Tercatat” secara hukum dianggap belum pernah menikah, dan oleh karena itu secara prinsip dapat menikah kembali secara resmi di KUA.
Namun demikian, Penghulu berkewajiban melakukan klarifikasi dan verifikasi, serta memastikan tidak ada pihak yang dirugikan secara keagamaan maupun sosial.
Jika terdapat potensi sengketa atau ketidakjelasan status, maka langkah terbaik adalah menempuh proses isbat nikah dan cerai resmi di Pengadilan Agama terlebih dahulu.
Penutup
Fenomena nikah siri dan perpisahan tanpa proses hukum memunculkan problematika yang harus disikapi dengan bijaksana dan profesional, tidak hanya secara normatif, tetapi juga secara sosial dan moral. Dalam konteks pelayanan nikah di KUA, ketelitian dan kehati-hatian merupakan prinsip utama, agar peristiwa nikah yang dicatatkan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memberikan perlindungan dan kejelasan status bagi semua pihak yang terlibat.
Editor : Tim Humas APRI Cabang Bone Bolango
Fotografer : Tim Humas APRI Cabang Bone Bolango