
Mahar Seperangkat Alat Shalat: Antara Simbol Kesederhanaan dan Makna Keberkahan
18 Jul 2025 | 612 | Humas Cabang APRI Boalemo | Biro Humas APRI Gorontalo
Oleh : Asruli Musa, S.H
Penghulu KUA Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo
Mahar dalam pernikahan adalah hak mutlak istri yang wajib diberikan oleh suami sebagai bentuk penghormatan, cinta dan keseriusan membangun rumah tangga. Di Indonesia, salah satu bentuk mahar yang paling umum adalah "seperangkat alat shalat". Sepintas terdengar sederhana. Tapi di balik bentuknya yang ringan dan mudah ditemukan, tersembunyi makna spritual dan simbolik yang dalam.
Tak sedikit pula yang mencibir mahar seperangkat alat shalat sebagai "murahan" atau "asal-asalan". Bahkan ada anggapan bahwa calon pengantin pria yang memilihnya dianggap "tidak mampu" secara finansial. Ini tentu pandangan yang sempit. Islam sendiri tidak pernah mensyaratkan kemewahan dalam mahar.
Dalam budaya modern, mahar terkadang berubah menjadi ajang pamer kekayaan: dari emas, perhiasan berlian, hingga barang-barang mewah. Di tengah arus itu, mahar seperangkat alat shalat hadir sebagai pengingat bahwa nilai sejati pernikahan bukan pada harganya, tetapi pada niat, tanggung jawab dan komitmen spritual yang menyertainya.
Seperangkat alat shalat yang biasanya terdiri dari sajadah, mukena dan Al-Qur'an bukan hanya benda, melainkan pernyataan: bahwa suami ingin memulai pernikahan dengan niat ibadah, dan ingin bersama istrinya menjalani kehidupan rumah tangga dalam bingkai keimanan. Mahar ini menyiratkan bahwa rumah tangga yang dibangun bukan sekedar untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat.
Jika sebuah pernikahan dimulai dari hal-hal yang penuh keikhlasan dan nilai-nilai spritual, maka insyaAllah rumah tangga tersebut akan tumbuh dalam berkah dan ketentraman. Sebaliknya, jika hanya berlomba menampilkan nominal, rumah tangga justru rentan rapuh karena tidak dibangun di atas fondasi yang kokoh.
Mahar seperangkat alat shalat bukan sekedar tradisi, tapi refleksi dari niat untuk menjadikan pernikahan sebagai jalan ibadah.