Buku Nikah Pengganti: Antara Kebenaran Formil, Tanggung Jawab Hukum, dan Pelayanan Publik
Opini

Buku Nikah Pengganti: Antara Kebenaran Formil, Tanggung Jawab Hukum, dan Pelayanan Publik

14 Oct 2025 | 15 | Humas Cabang APRI Bone Bolango | Biro Humas APRI Gorontalo

Oleh: Awen Tongkonoo – Ketua APRI Cabang Bone Bolango

Dalam praktik pelayanan di Kantor Urusan Agama (KUA), permohonan penerbitan buku nikah pengganti kerap diajukan dengan alasan kehilangan. Namun, di lapangan, tidak sedikit kasus yang menunjukkan bahwa buku nikah tersebut tidak benar-benar hilang, melainkan ditahan oleh salah satu pihak, baik suami maupun istri. Situasi seperti ini menimbulkan dilema bagi pejabat KUA:

Apakah KUA berwenang menerbitkan buku pengganti jika pemohon membawa surat kehilangan dari kepolisian?

Bagaimana posisi hukum KUA serta tanggung jawab para pihak yang terlibat?

Untuk menjawabnya, persoalan ini perlu dikaji melalui tiga dimensi hukum yang saling berkaitan: hukum perdata, hukum pidana, dan hukum pelayanan publik.

⚖️ Aspek Hukum Perdata: Kebenaran Formil dan Tanggung Jawab Pemohon

Dalam sistem administrasi negara, pejabat publik bertindak berdasarkan dokumen formil yang sah. Ketika pemohon melampirkan surat kehilangan dari kepolisian, secara hukum surat tersebut memiliki kekuatan pembuktian dan dapat dijadikan dasar pelayanan.

 ? Acta publica probant sese ipsa — dokumen publik dianggap benar sampai terbukti sebaliknya.

Selama surat kehilangan tersebut sah secara hukum dan data nikah sesuai dengan register akta nikah, maka KUA berhak menerbitkan buku nikah pengganti. Jika kemudian terbukti bahwa keterangan dalam surat tersebut tidak benar, tanggung jawab hukum sepenuhnya berada pada pemohon, bukan pada KUA.
Dalam konteks hukum perdata, kebenaran materiil melekat pada pembuat pernyataan, sedangkan pejabat publik hanya bertanggung jawab atas kebenaran formil.

⚖️ Aspek Hukum Pidana: Dua Dimensi Tanggung Jawab

a. Pemohon yang Memberikan Keterangan Palsu

Apabila pemohon mengajukan surat kehilangan secara tidak benar — misalnya padahal buku nikah masih ditahan oleh pasangannya — maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana keterangan palsu atau pemalsuan surat, sebagaimana diatur dalam:

Pasal 242 KUHP: Memberikan keterangan palsu kepada pejabat yang berwenang.

Pasal 263 KUHP: Membuat atau menggunakan surat palsu atau surat yang isinya tidak benar.

"Sanksinya dapat berupa pidana penjara hingga 6 tahun, apabila terbukti memberikan keterangan palsu untuk memperoleh keuntungan hukum atau merugikan pihak lain."

b. Pihak yang Menahan Buku Nikah
Tindakan menahan buku nikah milik bersama tanpa dasar hukum juga memiliki konsekuensi pidana.

Pasal 372 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, yang ada padanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Selain itu, apabila penahanan disertai perusakan, dapat diterapkan Pasal 406 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja merusak, memusnahkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang milik orang lain, diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”

Dengan demikian, menahan atau merusak buku nikah bukan sekadar urusan pribadi, melainkan perbuatan yang dapat berimplikasi hukum pidana.

?️ Aspek Pelayanan Publik: Kewajiban Melayani dengan Prinsip Kehati-hatian

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa pejabat publik wajib memberikan pelayanan secara adil, cepat, dan pasti, serta tidak boleh menolak pelayanan apabila seluruh berkas telah lengkap dan sah.

Karena PMA Nomor 30 Tahun 2024 hanya mengatur dua alasan penerbitan buku nikah pengganti — rusak atau hilang dengan surat kehilangan dari kepolisian — maka KUA tidak memiliki dasar hukum untuk menolak permohonan selama dokumen yang dipersyaratkan terpenuhi.

Menolak pelayanan dalam kondisi tersebut justru berpotensi menimbulkan maladministrasi berupa “penundaan berlarut”, karena menghambat hak warga atas pelayanan publik.

Namun, demi menjaga akuntabilitas, KUA perlu membuat berita acara verifikasi, misalnya dengan mencantumkan:

“Pemohon menyampaikan bahwa buku nikah tidak lagi dikuasainya, dan berdasarkan surat kehilangan dari Kepolisian, dokumen dinyatakan hilang.
Penerbitan buku nikah pengganti dilakukan sesuai Pasal 47 PMA Nomor 30 Tahun 2024, dengan tanggung jawab kebenaran berada pada pihak pemohon.”

Langkah administratif ini memperkuat posisi hukum KUA sebagai penyelenggara layanan publik yang patuh prosedur namun tetap berhati-hati.

? Sintesis: Menegakkan Hukum dengan Adil dan Bijak
Aspek Penjelasan
Perdata KUA bekerja berdasarkan kebenaran formil dan tidak bertanggung jawab atas keterangan palsu pihak lain.
Pidana Pemohon dapat dijerat Pasal 242 atau 263 KUHP; sedangkan pihak yang menahan buku nikah dapat dikenai Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
Pelayanan Publik KUA wajib melayani berkas lengkap sesuai PMA 30/2024 dengan catatan kehati-hatian administratif.

Dari ketiga aspek tersebut, jelas bahwa KUA bukanlah pihak yang bersalah. Sebaliknya, pihak yang menahan buku nikah atau memberikan keterangan palsu yang patut dimintai pertanggungjawaban hukum dan moral.

✍️ Penutup
Pelayanan publik di KUA bukan sekadar urusan administratif, melainkan juga amanah moral dan tanggung jawab hukum.
Kepala KUA dituntut untuk taat prosedur, berani bersikap, dan bijak dalam menegakkan aturan.

Buku nikah mungkin hanya selembar dokumen, namun di baliknya tersimpan tanggung jawab besar untuk menegakkan kejujuran, keadilan, dan kehormatan keluarga.
Menahan buku nikah pasangan bukan hanya tindakan tidak etis, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana.

Sementara bagi petugas KUA, melayani dengan benar dan penuh kehati-hatian merupakan bentuk pengabdian terbaik kepada negara dan umat — sebuah pengabdian yang menyatukan ketaatan hukum dan integritas moral.

Bagikan Artikel Ini

Infografis
Tag Terpopuler