Harmonisasi Adat dan Agama dalam layanan Nikah: Menjaga Tradisi, Memperkuat Iman
Opini

Harmonisasi Adat dan Agama dalam layanan Nikah: Menjaga Tradisi, Memperkuat Iman

  03 Oct 2024 |   61 |   Penulis : Humas Cabang APRI Lampung|   Publisher : Biro Humas APRI Lampung

oleh : H. Kasbolah, M. Pd. 
(Penghulu KUA Sekampung Udik, 
Lampung Timur) 
Pernikahan merupakan salah satu momen sakral dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai penyatuan dua individu, tetapi juga sebagai perwujudan dari nilai-nilai agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Di Indonesia, pernikahan bukan hanya perkara memenuhi syarat agama, tetapi juga tentang melaksanakan tradisi dan adat yang telah diwariskan turun-temurun. Inilah yang memunculkan konsep harmonisasi antara adat dan agama dalam layanan nikah.

Adat dalam Pernikahan: Simbol Identitas dan Warisan Budaya
Indonesia yang kaya akan budaya dan tradisi menjadikan setiap daerah memiliki adat pernikahannya masing-masing. Di berbagai daerah, prosesi pernikahan bisa berlangsung dalam berbagai tahapan, dari lamaran hingga resepsi, semuanya diwarnai dengan tradisi yang khas. Misalnya, di adat Jawa dikenal prosesi siraman, midodareni, dan panggih sebagai bagian dari rangkaian pernikahan. Di Minangkabau, ada maminang di mana pihak perempuan mengajukan lamaran kepada pihak laki-laki. 

Adat-adat ini memiliki makna yang dalam bagi masyarakat, karena sering kali berfungsi sebagai simbol identitas kultural dan penghormatan terhadap leluhur. Mereka mewakili nilai-nilai lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, memberikan warna unik pada setiap pernikahan yang diadakan di tanah air.

Agama sebagai Landasan Utama dalam Layanan Nikah
Pernikahan dalam agama Islam, yang menjadi pedoman mayoritas masyarakat Indonesia, memiliki aturan yang sederhana namun penuh makna. Rukun rukun pernikahan dalam Islam meliputi adanya hadirnya calon pengantin, wali, dua saksi, ijab kabul, dan mahar. Kewajiban untuk memenuhi syarat-syarat ini menjadikan pernikahan sebagai ibadah yang dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam pelaksanaannya, Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi lembaga yang memastikan bahwa proses pernikahan sesuai dengan hukum agama dan negara.

Namun, proses pernikahan dalam Islam tidak hanya sekadar ritual formal. Ada nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya, seperti niat ikhlas untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Oleh karena itu, pernikahan bukan hanya perkara sah secara hukum, tetapi juga tentang memelihara nilai-nilai agama dalam kehidupan rumah tangga.

Harmonisasi antara Adat dan Agama
Di sinilah terjadi perpaduan yang indah antara adat dan agama dalam layanan nikah. Meskipun pernikahan harus memenuhi syarat agama, adat setempat sering kali diintegrasikan dalam prosesi pernikahan sebagai bagian dari penghormatan terhadap budaya lokal. Misalnya, Beberapa jenis upacara adat Lampung dilaksanakan dengan cara tertentu sesuai dengan kesepakatan. Di kediaman keluarga pihak calon mempelai wanita dilaksanakan 3 acara pokok dalam 2 malam, yaitu Maro Nanggep, Cangget Pilangan, dan Temu di Pecah Aji, upacara siraman dalam adat Jawa atau peusijuek di Aceh tidak wajib secara agama, namun tetap dilakukan karena dianggap sebagai cara untuk mendapatkan doa restu dari keluarga besar dan masyarakat. 
Kombinasi ini menunjukkan bahwa agama dan adat tidak perlu saling bertentangan. Keduanya bisa berjalan berdampingan, selama adat yang dilaksanakan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Dengan begitu, pernikahan menjadi lebih bermakna karena menggabungkan nilai-nilai spiritual dari agama dan makna simbolik dari adat.

Tantangan dalam Mewujudkan Harmonisasi
Meskipun harmonisasi antara adat dan agama bisa tercipta, terkadang ada tantangan yang muncul. Misalnya, beberapa tradisi adat mungkin memerlukan biaya yang besar, yang tidak sejalan dengan ajaran agama yang menekankan kesederhanaan dalam pernikahan. Selain itu, ada pula tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti kepercayaan terhadap mitos-mitos tertentu yang bersifat takhayul.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memilah mana adat yang bisa dijalankan tanpa bertentangan dengan agama, dan mana yang sebaiknya ditinggalkan. Kehadiran tokoh agama dan adat seperti penghulu atau mudin sering kali menjadi kunci dalam proses ini, karena mereka dapat memberikan panduan agar pelaksanaan adat tetap sejalan dengan ajaran agama.

Peran Penghulu dan KUA dalam Mewujudkan Harmonisasi
Penghulu dan petugas KUA memainkan peran penting dalam memastikan bahwa pernikahan berjalan sesuai syarat agama, sambil tetap memberikan ruang bagi pelaksanaan adat. Mereka tidak hanya bertugas untuk memimpin prosesi akad nikah, tetapi juga berperan sebagai penasehat bagi keluarga yang ingin melaksanakan adat tanpa melanggar aturan agama.

Di beberapa daerah, penghulu dan tokoh adat sering bekerja sama untuk menciptakan prosesi pernikahan yang mengintegrasikan syarat agama dan adat. Ini merupakan bentuk upaya untuk menjaga keseimbangan antara melestarikan warisan budaya dan menjalankan kewajiban agama.

Kesimpulan
Harmonisasi antara adat dan agama dalam layanan nikah mencerminkan kekayaan budaya dan spiritual masyarakat Indonesia. Dalam pernikahan, adat memberikan dimensi kultural yang menghubungkan individu dengan leluhur dan komunitas, sementara agama memberikan kerangka spiritual yang menghubungkan individu dengan Tuhan. Dengan menciptakan keseimbangan antara keduanya, pernikahan menjadi lebih dari sekadar upacara legal, melainkan sebuah perjalanan spiritual dan kultural yang penuh makna.

Mengakomodasi adat dalam pernikahan tanpa melanggar prinsip agama adalah bentuk penghargaan terhadap kekayaan warisan budaya yang Indonesia miliki. Hal ini tidak hanya memperkuat ikatan individu dan keluarga, tetapi juga memperkaya identitas bangsa yang berlandaskan pada keragaman adat dan nilai agama yang kokoh. 

Share | | | |