
Inspirasi

Bolehkah mempublikasikan sedekah di media sosial?
21 Jan 2025 | 91 | Penulis : PC APRI Lampung Timur| Publisher : Biro Humas APRI Lampung
Bolehkah Mempublikasikan Sedekah di Media Sosial?
Rifa Tsamrotus Sa’adah, H. Kasbolah
Di masa Nabi, para sahabat terbiasa bersedekah secara diam-diam tanpa menarik perhatian orang lain. Namun, di era sekarang, banyak individu membagikan kebahagiaan mereka melalui media sosial setelah berdonasi. Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan cara bersedekah, dari mengikuti teladan Nabi dan para sahabat yang lebih mengutamakan kerahasiaan, menjadi kecenderungan mempublikasikan aktivitas donasi di media sosial.
Pertanyaannya, apakah praktik sedekah kita saat ini tetap mencerminkan nilai-nilai Islam? Apakah membagikan momen donasi di media sosial, yang menjangkau banyak orang, sah secara etika agama? Bagaimana cara yang tepat untuk bersedekah agar sesuai dengan ajaran Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini, Surat Al-Baqarah ayat 262 memberikan arahan yang tegas tentang bagaimana seharusnya bersikap dalam bersedekah di tengah masyarakat.
اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُوْنَ مَآ اَنْفَقُوْا مَنًّا وَّلَآ اَذًىۙ لَّهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ Artnya, “Orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang mereka infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih.”
Surat Al-Baqarah ayat 262 mengajarkan bahwa berinfak secara ideal dilakukan dengan menjaga kerahasiaan, menghindari menyebut-nyebut pemberian, serta tidak melukai perasaan penerima, sehingga pahala yang diraih tetap utuh. Ayat ini juga menjadi pengingat bagi para pemberi sedekah agar tidak merasa cemas terhadap harta yang telah mereka keluarkan.
Meski demikian, ayat ini sebaiknya dijadikan bahan refleksi mendalam dan memerlukan interpretasi dari para ulama agar dapat dipahami secara menyeluruh, sehingga tidak memunculkan kesalahpahaman terkait cara berdonasi di masa kini. Mengenai etika bersedekah, Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 271:
اِنْ تُبْدُوا الصَّدَقٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۚ وَاِنْ تُخْفُوْهَا وَتُؤْتُوْهَا الْفُقَرَاۤءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِّنْ سَيِّاٰتِكُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya, “Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu baik. (Akan tetapi,) jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, itu lebih baik bagimu. Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini telah ditafsirkan oleh berbagai ulama, baik dari generasi tafsir klasik maupun kontemporer. Berikut adalah beberapa penafsiran yang dianggap relevan:
Pertama, Imam Al-Qurtubi dalam kitabnya Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an Jilid III (hlm. 369-370) mengatakan: قوله تعالى: {وَإِن تُبْدُواْ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ...} قال ابن عباس: فجعل الله صدقة السر في التطوع تفضل علانية بعشر درجات، وجعل صدقة الفريضة علانية أفضل من سر بسبعين درجة Artinya, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali...Ibnu Abbas berkata: Allah menjadikan sedekah secara sembunyi dalam konteks sedekah sunah lebih utama daripada terang-terangan dengan sepuluh derajat, dan Allah menjadikan sedekah wajib secara terang-terangan lebih utama daripada sembunyi-sembunyi dengan tujuh puluh derajat.”
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa sedekah secara sembunyi-sembunyi, terutama pada sedekah sunnah, memiliki keutamaan karena lebih terhindar dari riya’. Sebaliknya, sedekah yang dilakukan secara terbuka, khususnya zakat wajib, justru bermanfaat untuk menghindarkan seseorang dari tuduhan lalai dalam menunaikan kewajiban zakat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitab Zadul Ma'ad menjelaskan bahwa sedekah secara sembunyi-sembunyi adalah metode terbaik untuk menjaga hati dari sifat-sifat negatif, seperti ujub dan riya. Menurutnya, cara ini memiliki dampak yang lebih signifikan dalam mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Penjelasan tentang keutamaan sedekah tersembunyi ini tercantum dalam Zadul Ma'ad Jilid I, halaman 305.
وَأَمَّا الصَّدَقَةُ فَإِنَّهَا أَحْسَنُ مَا يَكُونُ إِذَا كَانَتْ عَلَى وَجْهِ الْخَفَاءِ فَإِنَّهَا تَكُونُ أَبْعَدَ عَنْ الرِّيَاءِ وَأَحْفَظَ لِقَلْبِ الْمُتَصَدِّقِ مِنَ الْعُجْبِ وَالنَّظَرِ إِلَى النَّفْسِ وَرُؤْيَةِ فَضْلِهِ عَلَى الْمَحْسِنِ إِلَيْهِ. وَهِيَ أَعْظَمُ فِي أَجْرِهَا وَتَثْبِيتِ الْمُتَصَدِّقِ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ وَأَقْرَبُ إِلَى الْإِخْلَاصِ
Artinya, “Adapun sedekah, maka sedekah itu paling baik jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena itu lebih jauh dari riya, dan lebih menjaga hati orang yang bersedekah dari sifat ujub, melihat diri sendiri, dan merasa memiliki keutamaan atas orang yang diberi sedekah. Sedekah yang dilakukan secara sembunyi memiliki pahala yang lebih besar, lebih meneguhkan orang yang bersedekah dalam ketaatan kepada Allah, dan lebih mendekatkannya kepada keikhlasan.”
Ketiga, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumid Din terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah tahun 2004, halaman 292, mengungkap bahwa sedekah secara terang-terangan memiliki keutamaan yang besar.
مقالة: ويظهر الصدقة إذا كان في إظهارها مصلحة دينية، مثل أن يحث الناس على الصدقة، أو يخفف عن الفقراء والمحتاجين، أما إذا كان إظهارها يؤدي إلى الرياء أو التفاخر، فإخفاؤها أفضل."
Artinya, “Menampakkan sedekah jika ada manfaat agama dalam penampakan tersebut, seperti mendorong orang lain untuk bersedekah atau meringankan beban orang miskin dan membutuhkan, lebih baik. Namun, jika penampakan sedekah tersebut mengarah pada riya' atau pamer, maka menyembunyikannya lebih baik.”
Fenomena mempublikasikan sedekah, baik di Indonesia maupun secara global, kerap dianggap sebagai bentuk *flexing*. Namun, pandangan al-Ghazali menawarkan perspektif berbeda. Ia memberikan solusi dalam konteks media sosial dan dunia maya, dengan menekankan bahwa menyebarkan amal, seperti donasi, diperbolehkan selama diniatkan dengan tulus untuk kebaikan. Menurut al-Ghazali, amal sedekah tetap dicatat sebagai kebaikan oleh Allah, tetapi jika niatnya cenderung kepada riya’, lebih baik dilakukan secara tersembunyi.
Dalam konteks serupa, Grand Syaikh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyeb, pernah mengingatkan agar masyarakat tidak terlalu sibuk mengabadikan foto atau video donasi untuk media sosial. Beliau menekankan pentingnya menjaga martabat (*hifzh karamah*) para mustahiq (penerima bantuan), agar mereka tidak terkesan dijadikan objek demi pujian atau perhatian. Namun, menurut penulis, di luar pertimbangan riya’ atau tidak, aspek maqashid dari donasi juga perlu diperhatikan. Memperlihatkan donasi secara terbuka dapat dipandang sebagai bentuk *Istibaqul Khairat* (berlomba dalam kebaikan). Pandangan ini sejalan dengan ar-Razi dalam *Mafatihul Ghaib*, yang menyatakan bahwa mempublikasikan sedekah di depan umum memiliki maslahat, karena mampu mendorong orang lain untuk turut melakukan kebaikan serupa. Beliau menjelaskan:
قال الرازي في تفسيره: وأما الوجه في جواز إظهار الصدقة فهو أن الإنسان إذا علم أنه إذا أظهرها صار ذلك سببا لاقتداء الخلق به في إعطاء الصدقات فينتفع الفقراء بها فلا يمتنع والحال هذه أن يكون الإظهار أفضل انتهى
Artinya, “Alasan dibolehkannya menampakkan sedekah adalah menjadi sebab bagi orang lain untuk mencontohnya dalam bersedekah, sehingga orang-orang miskin akan mendapatkan manfaat darinya. Dalam hal ini memposting donasi di sosial media dianjurkan.”
Dengan demikian, baik sedekah yang dilakukan secara terbuka maupun tersembunyi memiliki keutamaan tersendiri, terutama dalam hal keikhlasan dan perolehan pahala. Terlepas dari risiko riya’ atau tidak, yang utama adalah menjaga kemuliaan nilai sedekah itu sendiri. Hifzhul karamah fi qimatish shadaqah (menjaga kemuliaan nilai sedekah) mendorong kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan melalui sedekah, baik dalam bentuk materi seperti uang atau barang, maupun sebagai bagian dari syiar Islam yang mencerminkan kepedulian kepada sesama. Wallahu A'lam.
Referensi: https://islam.nu.or.id/hikmah/memperlihatkan-sedekah-di-media-sosial-bolehkah-yrRJz