Menggali Sisi Gelap Manusia: Kasus Agus Buntung dalam Perspektif Akhlak dan Kepribadian
07 Dec 2024 | 10480 | Penulis : PC APRI Lampung Timur| Publisher : Biro Humas APRI Lampung
Menggali Sisi Gelap Manusia: Kasus Agus Buntung dalam Perspektif Akhlak dan Kepribadian
Oleh : (H. Kasbolah, M.Pd.)
Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan IWAS alias Agus Buntung, seorang penyandang disabilitas, mengguncang hati masyarakat. Betapa tidak, di balik keterbatasan fisiknya, Agus diduga melakukan tindakan yang mencederai norma kemanusiaan hingga jumlah korbannya mencapai 15 orang, termasuk anak di bawah umur. Sorotan terhadap kasus ini tidak hanya datang dari aspek hukum, tetapi juga dari sudut pandang etika dan akhlak, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam karya monumental Makarimul Akhlak.
Empat Gambaran Manusia: Mengaitkan Konsep Akhlak dan Perilaku
Dalam Makarimul Akhlak, Syaikh al-Utsaimin membagi manusia menjadi empat kelompok berdasarkan perpaduan antara suroh dohiroh (fisik) dan suroh batinah (akhlak):
1. Fisik baik, akhlak baik: Contoh tertinggi adalah Nabi Muhammad SAW, yang sempurna secara fisik dan batin. Keindahan jasmani dan rohani beliau adalah teladan bagi umat manusia.
2. Fisik baik, akhlak buruk: Sosok seperti Abu Lahab, meski memiliki paras yang menawan, dikenal sebagai penghalang dakwah Rasulullah.
3. Fisik buruk, akhlak baik: Misalnya, Bilal bin Rabah. Walaupun penampilannya sering diremehkan pada zamannya, beliau adalah pribadi yang penuh ketulusan dan iman.
4. Fisik buruk, akhlak buruk: Contoh yang sering disebut adalah Abu Jahal, yang membawa kerusakan lahir dan batin.
Jika diletakkan dalam konteks ini, kasus Agus Buntung menggambarkan potret manusia yang fisiknya terbatas, tetapi akhlaknya dipandang buruk. Hal ini tentu membuka diskusi mendalam: apakah keterbatasan fisik bisa menjadi alasan pembenaran perilaku yang tidak bermoral?
Menyoal "Keterbatasan" dan Akhlak dalam Perspektif Islam
Islam mengajarkan bahwa akhlak adalah cerminan hakiki dari nilai seseorang. Dalam kasus Agus, ada paradoks yang menyayat hati: keterbatasan fisik yang seharusnya menjadi pengingat untuk rendah hati justru menjadi latar belakang dugaan manipulasi dan grooming terhadap korban. Dalam hal ini, agama memandang bahwa setiap manusia, terlepas dari keadaan fisiknya, tetap memiliki tanggung jawab moral.
“Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim).
Ayat ini menegaskan bahwa kecantikan fisik atau keterbatasan jasmani bukanlah ukuran utama manusia. Justru akhlaklah yang menjadi penentu nilai sejati seseorang.
Refleksi untuk Masyarakat: Mengembalikan Akhlak sebagai Pilar Utama
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa pembangunan karakter dan akhlak harus menjadi prioritas dalam setiap komunitas. Pendidikan akhlak sejak dini, pendampingan psikologis, serta penguatan nilai-nilai keagamaan dapat menjadi benteng dari perilaku menyimpang.
Sebagaimana Syaikh al-Utsaimin menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai manusia dengan kesempurnaan lahir dan batin, masyarakat pun harus berupaya mendekati ideal ini: menjadikan akhlak sebagai inti kehidupan. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan gambaran manusia yang "buruk secara lahir dan batin" merebak di sekitar kita.
Kesimpulan
Kasus Agus Buntung bukan sekadar soal pelanggaran hukum, tetapi juga gambaran betapa pentingnya akhlak dalam kehidupan manusia. Fisik hanyalah cangkang; akhlak adalah jiwa yang menghidupinya. Kita sebagai masyarakat harus berkomitmen menjadikan akhlak sebagai fokus utama pendidikan, pendampingan, dan pembentukan karakter. Dengan begitu, kasus serupa tidak lagi mencemari wajah kemanusiaan kita.